Sulalatus Salatin menguraikan silsilah dari para Raja di kawasan Melayu.
Bermula dari kedatangan Sang Sapurba, keturunan Iskandar Zulkarnain di bukit Siguntang, Palembang.
Kemudian Sang Sapurba diminta untuk menjadi Maharajadiraja di Minangkabau dan dari tokoh ini raja-raja di kawasan Melayu diturunkan.
Selanjutnya terdapat kisah salah seorang putra Sang Sapurba dari perkawinannya dengan Wan Sundaria, putri Demang Lebar Daun, penguasa Palembang yang bernama Sang Nila Utama bergelar Sri Tri Buana mendirikan Singapura dan putranya yang lain, Sang Mutiara disebutkan menjadi raja di Tanjungpura.
Sementara gelar Sang Nila Utama tersebut mirip dengan gelar Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa dalam Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286, merupakan Maharaja di bumi Melayu yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapada dari Kertanegara Raja Singhasari.
Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang Arca Amoghapasa tersebut dan menyebutkan memulihkan kerajaan sebelumnya, kemudian dinamainya Malayapura.
Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang ekspansi Jawa di kawasan Melayu, serta juga menyebutkan tentang sepeninggal Raja Majapahit. Kemudian kedudukannya digantikan oleh anak perempuannya atas sokongan patihnya. Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan putra Raja Tanjungpura.
Hal ini jika dibandingkan dengan naskah Jawa Desawarnana dan Pararaton yang menceritakan tentang pergantian Raja Majapahit, Jayanegara, kepada saudara perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi yang disokong oleh Gajah Mada.
Ratu Majapahit ini kemudian menikah dengan Cakradhara, bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel yang nantinya melahirkan Hayam wuruk.
Berdasarkan Prasasti Wingun Pitu, terdapat Bhre Tanjungpura sebagai salah satu batara yang memerintah di salah satu daerah bawahan pemerintahan Majapahit. Prasasti ini bertarikh 1447, kemungkinan pada akhir pemerintahan Ratu Suhita. Dalam Pararaton, Ratu Majapahit ini disebutkan menikah dengan Bhre Hyang Parameswara.
Secara rinci, Sulalatus Salatin memberikan urutan nama-nama raja Malaka. Kemudian terdapat berita kedatangan Afonso de Albuquerque dari Goa atas perintah Raja Portugal untuk menaklukan Malaka tahun 1511 pada masa Sultan Mahmud Syah.
Perang melawan penaklukan Portugal ini membuat Sultan Malaka terpaksa berpindah pindah, mulai dari Bintan terus ke Kampar kemudian ke Johor.
Berdasarkan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming disebutkan pendiri Malaka adalah Pau-li-mi-su-la (Parameswara) yang mengunjungi Kaisar Tiongkok tahun 1405 dan 1409, tetapi nama tersebut tidak dijumpai pada semua versi Sulalatus Salatin, tetapi nama ini kemudian dirujuk kepada Raja Iskandar Syah.
Penyampaian alur cerita pada Sulalatus Salatin tidak lepas dari pengaruh politik yang berkuasa pada setiap masa penulisannya karena ada alur cerita yang tidak semua versi menyebutnya. Sisipan cerita tambahan tersebut mungkin sebagai legitimasi bagi penguasa-penguasa berikutnya di kawasan Melayu. Hal ini terlihat pada Bustanus Salatin. Pada salah satu pasalnya terdapat silsilah keturunan Sultan Aceh yang nasabnya dirujuk sampai kepada Raja Melayu dari Bukit Siguntang.
Kemudian ada pula sisipan cerita pengiriman utusan ke Makassar yang kemudian pulang bersama seorang bangsawan Bugis yang hebat dan kemudian dikenal dengan nama Hang Tuah.
Sementara dari versi lain, Hang Tuah disebutkan hanyalah seorang nelayan dari Bintan, namun memiliki kemahiran dalam ilmu silat, kemudian diangkat menjadi laksmana dan berperan dalam menjaga Malaka dari ancaman luar.
Sementara kisah kunjungan utusan Raja Malaka kepada Raja Goa, tidak dijumpai pada versi Raffles, Abdullah, Dulaurier, Shellabear, Winstedt, Madjoindo dan lainnya. Kisah tersebut hanya terdapat pada naskah yang disebut ada di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia saja. Kemungkinan munculnya kisah ini sangat berkaitan dengan cerita sebagaimana yang terdapat pada Tuhfat al-Nafis.
Sulalatus Salatin mengambarkan keterkaitan masing masing kawasan di Nusantara. Kisah kedatangan Islam di Pasai memberikan gambaran tentang awal dakwah Islam di kawasan Melayu.
Kemudian dilanjutkan dengan cerita hubungan perkawinan antara putri Raja Pasai dengan Raja Malaka yang menandakan Islam juga telah tersebar ke Malaka. Hubungan Pasai dan Malaka ini terus berlanjut dimana pada masa berikutnya Sultan Malaka disebutkan turut membantu memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai.
Laporan Ma Huan, pembantu Cheng Ho menyebutkan bahwa adat istiadat seperti bahasa maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian yang digunakan masyarakat Pasai dan Malaka adalah sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar