Benang Merah
08 Juni 2020
Kapitan Jonker
Kapitan Jonker adalah seorang pemimpin kelompok pasukan Maluku yang mengabdi kepada VOC.
Ia terlibat dalam banyak pertempuran untuk membantu menegakkan kekuasaan VOC di Indonesia.
Di akhir hayatnya, ia dikenai tuduhan berbuat makar dan tewas ketika kediamannya diserbu pada tahun 1689.
Jonker berasal dari keluarga Raja Muslim di Maluku.
Nama Jonker sendiri diperkirakan bukan nama asli, melainkan gelar tamaela yang biasa digunakan di Ambon pada zaman itu. Namanya tertulis dalam sebuah akta tahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa, berasal dari Pulau Manipa, Seram Barat.
Awalnya ia berjuang keras melawan kekuasaan VOC. Perlawanan tersebut diperkirakan terjadi antara tahun 1634-1643, pada Perang Hitu II atau disebut juga Perang Wawane. Akan tetapi ia kalah dan pasukan perlawanannya serta pasukan Raja Tahalele dari Pulau Boano menjadi tawanan VOC.
Sekitar tahun 1654, ia berada dalam pengawasan Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn, dan termasuk dalam bagian dari pasukan pimpinan Kapitan Raja Tahalele yang ditempatkan di Batavia.
Saat itu ia menjadi wakil Raja Tahalele dan kemungkinan mulai menggunakan gelar raja muda yang dipadankan menjadi Jonker dalam bahasa Belanda.
Saat memimpin pasukan Maluku dalam pertempuran VOC di Srilangka, Raja Tahalele mengalami luka parah. Jonker diangkat menjadi pemimpin penggantinya dan sejak saat itulah gelar Kapitan mulai disandangnya. Setelah pertempuran tersebut, ia memimpin pasukan Maluku yang bermarkas di Batavia. Kapitan Jonker terlibat di berbagai medan perang lainnya dalam membantu VOC. Antara lain di Timor, pantai barat Sumatera, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang dan Banten.
Dalam salah satu pertempuran terakhirnya yang berlangsung selama tujuh tahun (1675-1682) melawan Trunojoyo, ia bahkan memimpin pasukan besar yang tidak saja terdiri dari orang-orang Maluku, melainkan juga orang-orang Makassar, Bugis dan Mardijkers.
Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Sampai akhir tahun 1960-an, wilayah tersebut masih dikenal masyarakat dengan sebutan Pejongkeran.
Setelah Gubernur Jendral Cornelis Speelman pada tahun 1684 meninggal dunia, pengaruh Jonker yang terlalu besar menimbulkan rasa tidak suka dari pimpinan VOC di Batavia saat itu Isaac de l’Ostale de Saint Martin.
Jonker dianggap tidak bisa dikendalikan. Kekuasaan Jonker mulai dikurangi dan seorang Kapitan Buleleng keturunan Bali yang bekas budak Jonker diperintahkan VOC untuk memisahkan kelompok perkampungan dari pasukan Jonker berdasarkan suku-suku mereka.
Puncak konflik yang terjadi pada tahun 1689, ia dituduh akan memberontak dan terjadinya pertempuran antara Jonker dan pengikutnya di Pejongkeran melawan pasukan VOC dan pendukungnya.
Tercatat bahwa seorang Kapitan Melayu bernama Wan Abdul Bagus, yang ditugaskan oleh VOC terluka parah dalam pertempuran tersebut.
Kapitan Jonker yang semula dianggap berjasa oleh VOC akhirnya tewas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru
Posting Lama
Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar