07 Juni 2020

Habib Ali Bungur

Al-Habib Ali bin Husin Alatas (Habib Ali Bungur) 
Dari Huraidhah ke Betawi. 

Berjubah dan bersurban putih serta selempang hijau (radi) Habib Ali bin Husin Alatas, baik semasa tinggal di Cikini maupun Bungur menerima murid-muridnya atau masyarakat yang ingin menanyakan sesuatu hukum atau persoalan agama. 
Seperti diungkapkan Habib Ali bin Abdurahman Assegaff, dalam mengajar, Almarhum biasanya berhadap-hadapan dengan para Kiai atau Ulama ternama yang datang ke kediamannya. Para ulama ini umumnya para pimpinan majelis ta'lim. 
Misalnya KH Abdullah Syafiie, KH Tohir Rahili, KH M Syafi’i Hadzami, KH Noer Ali dari Bekasi. 
Sejumlah Ulama Betawi lainnya dari generasi yang lebih muda diantaranya KH Abdurahman Nawi, pimpinan majelis ta'lim Al-Awwabin Tebet dan Depok. 
Tapi menurut Habib Ali Assagaff, diantara ulama-ulama ternama juga banyak dari luar Jakarta. Bahkan dari Jawa Timur seperti Habib Husein Almachdor (Bondowoso) Habib Abdullah Bilfagih (Surabaya) 

Di kediamannya, Habib Ali Bungur menerima mereka yang membacakan suatu kitab atau menanyakan suatu masalah kepadanya. Lalu Almarhum menerangkan mengenai isi kitab tersebut. 
Habib Ali Assagaff yang pernah beberapa tahun berguru kepada Almarhum membenarkan. Umumnya yang belajar kepada beliau adalah para ulama dan kiai ternama. Tapi banyak yang ketika itu menjadi kader-kader ulama, kini telah berhasil menjadi ulama terkemuka. 

Meskipun para murid yang belajar kepadanya tidak bersifat massal, tapi Habib Ali Bungur seringkali mendatangi diskusi dan pengajian antar ulama dan kader-kader ulama. Jumlah mereka memang tidak banyak, hanya puluhan orang. 
Seperti dikemukakan putranya, Habib Husein, biasanya pengajian yang dihadiri lebih banyak muridnya diadakan secara rutin di majelis ta'lim Attahiriyah, pimpinan KH Tohir Rohili. Sering pula pengajian semacam ini diadakan di kediaman atau pengajian KH Abdullah Syafi’ie (As-Syafiiyah), KH M Syafi’i Hadzami (Majelis Taklim Asyirotusy-Syafi’iyah) dan di majelis ta'lim Habib Abdurahman Assegaff, Bukit Duri. 

Tidak seperti di majelis ta'lim Kwitang dimana Habib Ali Alhabsji mengajar di hadapan ribuan jamaah, Habib Ali Bungur hanya di kalangan terbatas. Seperti dikemukakan oleh KH M Syafi’i Hadzami, salah satu murid kesayangannya, cara mengajarnya ialah mendengarkan para murid-muridnya satu persatu membacakan kitab, lalu beliau memberikan keterangan dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Baik di Cikini maupun di Bogor, selama 56 tahun Habib Ali Bungur membuka semacam majelis ta'lim khusus untuk para pimpinan dai dan mubaligh. Antara keduanya sampai akhir hayat terjalin hubungan yang sangat akrab dan keduanya setiap saat sering bertemu. 
Dalam diskusi terbatas semacam ini, sejumlah kitab yang menjadi rujukan ulama salaf dibahas. Seperti kitab Minhajud Thalibin, kitab Hadis Bukhari-Muslim, hingga kepada kitab-kitab Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali. 
Sejumlah ajengan dan mubaligh dari Bogor, Sukabumi dan Cianjur, banyak yang mendatanginya. 
Almarhum juga teman akrab para ulama intelektual kala itu, seperti KH Abdullah bin Nuh, Prof Dr Abubakar Atjeh dan juga Hamka. 
Menurut KH Syafi’i Hadzami, dia telah menimba ilmu kepada Habib Ali Bungur selama 18 tahun. Dari tahun 1958 hingga meninggalnya almarhum pada Februari 1976. Begitu cintanya ia kepada gurunya ini sehingga ketika Habib Ali pindah ke Bungur, KH Syafi’i dari Kebon Sirih ikut-ikutan pindah. Setelah Habib Ali meninggal dunia, kecintaannya terhadap gurunya ini tidak berkurang. 
”Setiap kali saya melewati daerah makamnya di Cililitan, saya selalu membacakan Fatihah dan mendoakannya” kenang KH Syafii Hadzami dalam buku Sumur Yang Tak Pernah Kering. 

Habib Ali bin Husin Alatas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 atau 1889 Masehi. 
Karena pada akhir hayatnya ia dan keluarga tinggal di Bungur, maka orang menyebutnya dengan sebutan Habib Ali Bungur. Sebelumnya tinggal di Cikini hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini. 
Sejak usia enam tahun ia telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 23 tahun ia pun menunaikan ibadah haji. Di kota suci, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu. 
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920, dalam usia 41 tahun ia berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, beliau yang selalu dekat dengan rakyat itu telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Beliau dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat. 

Habib Ali Bungur pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura banyak muridnya. 
Seperti dikemukakan oleh putranya yang kini meneruskan majelis ta'lim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri. Padahal diantara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. 
Menurut Habib Husein, ayahnya sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah) di samping sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di kediamannya, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat. Seperti pada setiap habis shalat Jumat dia mengajar di Attahiriyah. 

Baik selama di Cikini maupun di Bungur, almarhum menetap di lingkungan kampung bersama rakyat jelata. Seperti dikemukakan oleh salah satu muridnya, Habib Ali bin Abdurahaman Assegaff ”Setiap orang yang mengenal almarhum selalu akan berkata, hidupnya sederhana dan tawadhu. Beliau tidak pernah menyakiti sesama manusia, teguh memegang prinsip, menolak pengultusan, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran" 
Yang perlu diikuti oleh para ulama masa kini, beliau tidak membeda-bedakan kaya dan miskin. 

Dalam mendekatkan diri dengan rakyat jelata, putranya menerangkan, almarhum ayahnya selalu naik becak atau kendaraan umum karena sikapnya yang ingin berdiri dengan kaki sendiri. Melihat keadaan ini, sering diantara para muridnya yang memaksa beliau untuk menaiki mobilnya. Karena tidak tega melihatnya naik becak dalam usia lanjut. Sampai akhir hayatnya, ia tidak memiliki mobil karena menerapkan hidup sederhana dan tidak pernah mau menadahkan tangan kepada orang kaya. Ketika berdakwah ke berbagai tempat, ia lebih banyak naik becak. Hanya dalam waktu singkat, ia pun menjadi sumber ilmu dari para kiai dan ulama kala itu. Hingga kediamannya di Cikini, di sebuah gang kecil yang tidak dapat dimasuki mobil, selalu didatangi para muridnya yang ingin menambah ilmu. 
Pada tahun 1960, rumahnya di Cikini terbakar. Maka ia pun pindah ke Bungur, yang mayoritas penduduknya warga Betawi. 
Disamping itu, Habib Ali pun dalam dakwah banyak mendatangi berbagai tempat di Pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh KH Idham Chalid, yang juga pernah berguru padanya, almarhum dalam perjuangannya tidak pernah menonjol-nonjolkan diri bahwa ia seorang yang pandai. Idham Chalid kala itu mengatakan, almarhum berani mengoreksi para pemimpin, saya sendiri sering dikoreksinya. 
Bagi KH M Syafi’i Hadzami, ada pengalaman tak terlupakan dengan gurunya itu. Suatu ketika ia menjenguk gurunya yang sedang sakit di kediamannya. Sebagai penghormatan dan adab pada guru, ia pun membuka sandalnya di luar kamar. Melihat muridnya demikian, ia pun menyuruh agar memakai sandalnya itu. Karena KH M Sjafi’i menolak, Habib Ali yang tengah sakit, keluar dari kamarnya. Ia mengambil sandal muridnya dan minta agar memakainya 
”Saya terkejut dengan perlakuan guru saya yang demikian itu” ujarnya. 
Selain Sjafi’i Hadzami, nama-nama besar lain yang pernah menimba ilmu darinya adalah Habib Muhammad Alhabsji (putra Habib Ali Kwitang) Habib Abdulkadir bin Abdullah Bilfagih (Malang) KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Abdulrazaq Ma’mun, Prof Dr H Abubakar Atjeh, KH Noer Ali (Bekasi) dan sejumlah ulama kondang lainnya. 

Almarhum meninggal dunia pada 16 februari 1976 dalam usia 88 tahun. Guru dari beberapa lembaga ilmiah, majelis ta'lim dan perguruan agama ini, memang dikenal low profile. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar