29 Juni 2020

Jalan Raya Pos Deandels

Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan. 
Dibangun pada masa pemerintahan Daendels. 

Pada tiap-tiap 4,5 kilometer, didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. 

Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. 

Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan inggris, Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia dan tempat pembuatan senjata di Semarang. 

Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan inggris. 

Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. 
Yang gagal, termasuk para pekerjanya dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. 

Daendels memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya, jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini. 

Masjid Kobe, masjid pertama di Jepang & masjid yang selamat dari bom atom

Tahukah anda masjid pertama di Jepang??? 

Masjid Kobe merupakan masjid pertama di Jepang. Masjid ini dibangun tahun 1928 di Nakayamate Dori, Chuo-ku. 
Arti kata Kobe berarti gate of God atau gerbang Tuhan. 

Bulan Juni 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. 
Kota Kobe pun kena imbasnya, rata dengan tanah. 
Meski kota Kobe hancur, namun masjid Kobe tetap berdiri dengan kokoh, bahkan banyak tentara Jepang yang berlindung di masjid ini. 

Februari 1995, kekokohan masjid Kobe diuji lagi dengan gempa bumi paling dahsyat. Meski hanya berlangsung 20 detik, namun gempa ini memakan korban jiwa sebanyak 6433 orang. Masjid Kobe tetap kokoh meski terkena berbagai bencana. 
Arsitekturnya dibangun dalam gaya Turki oleh Ceko Jan Josef Svagr. 


27 Juni 2020

Bangsa MORESCO & Keroncong Moresco

KANAL BANJIR JAKARTA

Petruk Dadi Ratu

16 Juni 2020

Rasa Sayange

Rasa Sayange adalah lagu berbahasa asli Maluku. Lagu ini merupakan lagu anak-anak yang selalu dinyanyikan secara turun-temurun sejak dahulu oleh masyarakat Maluku untuk mengungkapkan rasa sayang mereka terhadap lingkungan dan masyarakat. 
Lagu ini layaknya seperti sajak atau pantun yang merupakan tradisi lisan orang Maluku. Banyak versi dari lagu ini karena liriknya dapat dibuat sendiri sesuai maksud dan tujuan dari lagu tersebut. Namun dari tetap diawali oleh kalimat "Rasa sayange, rasa sayang sayange, Eeee lihat dari jauh rasa sayang sayange" 
Di akhir lagu selalu diakhiri dengan kalimat "Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi" 

Lagu ini digunakan oleh Departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia yang dirilis bulan Oktober 2007. Menteri Pariwisata Malaysia, Adnan Tengku Mansor, mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago) 

Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia karena merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur. 

Menteri Pariwisata Malaysia, menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia. 

Bukti tersebut akhirnya ditemukan. Rasa Sayange diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. 

Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia

Namun ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama antara Indonesia dan Malaysia

Tentang bukti rekaman "Rasa Sayange" direkam oleh Lokananta pada tahun 1962, rekaman master ini masih disimpan oleh Perum PNRI Cabang Surakarta yang dahulunya adalah PN Lokananta. Namun ini tidak bisa dijadikan bukti kuat karena teks asli lirik lagu tidak pernah ditemukan. Ini dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4, tahun 1962, di Jakarta. Lagu "Rasa Sayange" adalah salah satu lagu di piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak bergembira dan O ina ni keke. 

Pada tahun 1958, sebuah film Melayu yang berjudul "Matahari" telah ditayangkan. Film ini menceritakan kisah perjuangan menentang penjajahan Jepang di tanah Melayu. Film ini memaparkan segerombolan tentara yang berjalan sambil menyanyikan lagu "Rasa Sayang Eh" 

Namun kenyataannya, pada tahun 1954, Indonesia lebih dulu menggunakan lagu ini dalam film Lewat Djam Malam, karya sutradara Usmar Ismail. 

Masih ada kontroversi mengenai pemilik lagu Rasa Sayange ini. Lagu ini pernah dinyanyikan dalam bahasa Hindi oleh Mohd Rafi dan Lata Mangeshkar dalam film Singapura pada tahun 1960. Film ini merupakan film Bollywood pertama yang syutingnya secara penuh di luar negara India. Film ini dalam bahasa Hindi berjudul "Hai Pyar Ka Hi Naam Ra Sa" Dalam korusnya berbunyi "Rasa sayang re, rasa sayang sayang re. Hey, pyar ka hee nam? (Hei, apakah ini yang disebut cinta?) 

Lagu tersebut telah lebih dulu digunakan dalam film Melayu, Rasa Sayang Eh, tahun 1959. 

Juga dinyanyikan dalam satu babak film Antara Dua Darjat (1960) 

Hindia Belanda pernah membuat rekaman promosi menggunakan lagu di film bisu berjudul Insulinde zooals het leeft en werkt. 



11 Juni 2020

Adityawarman

Adityawarman adalah pelanjut Dinasti Mauli, penguasa kerajaan Melayu yang sebelumnya beribukota di Dharmasraya. Di kemudian hari, ibukota dari kerajaan ini pindah ke daerah Minangkabau. 

Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman. Ada pula yang menyebut bahwa Adityawarman adalah putra dari Adwayadwaja, nama seorang pejabat penting Singhasari yang mengantar Arca Amoghapasa untuk hadiah raja Melayu. 

Dalam Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, Adityawarman disebut dengan nama Tuhan Janaka. 

Ibunya bernama Dara Jingga, putri kerajaan Melayu. Dalam Ekspedisi Pamalayu, Dara Jingga dan adiknya, Dara Petak, ikut dalam ekspedisi tersebut. Raden Wijaya, pendiri Majapahit, mengambil Dara Petak sebagai permaisuri. 

Menurut Pararaton, Jayanegara, raja kedua Majapahit adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu. Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Tiongkok. Dalam kronik Dinasti Yuan, ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan. 

Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya. 

Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara) Adityawarman diangkat sebagai Wreddhamantri (perdana menteri) 

Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu. 

Adityawarman menjadi raja di wilayah Pagaruyung, dari salah satu prasasti yang menyebutkan bahwa ia sebagai Suravasawan atau Tuan Surawasa. Surawasa berubah tutur menjadi Suruaso, sebuah nagari yang bersempadanan dengan nagari Pagaruyung sekarang. 

Catatan Dinasti Ming menyebut, di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang) dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya) 

Pada tahun 1339, Adityawarman dikirim sebagai uparaja (raja bawahan Majapahit) untuk wilayah Swarnnabhumi (Sumatera) Kemudian pada tahun 1347, Adityawarman mendirikan kerajaan baru bernama Malayapura, sebagai kelanjutan kerajaan Melayu sebelumnya. 

Dari prasasti Suruaso menyebutkan, Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang kaya akan padi, yang sebelumnya dibuat oleh pamannya, Akrarendrawarman, raja sebelumnya. 

Sesuai dengan adat Minangkabau, dapat dipastikan pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut

Adityawarman memindahkan pusat kerajaannya ke pedalaman (Pagaruyung) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan Majapahit yang pada masa itu sedang gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah di bawah Gajah Mada karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain bahwa Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat mengontrol sumber emas yang terdapat pada kawasan Bukit Barisan. 

Setelah memindahkan pusat pemerintahan ke daerah pedalaman Minang, Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit, dimana ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat



Sang Sapurba

09 Juni 2020

Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi

Pangeran Papak

Tak ada hal yang unik di wilayah Kelapa Gading, termasuk pula kehidupan masyarakat Kelapa Gading tempo dulu selain mencari ikan. Kelapa Gading dulunya merupakan hamparan rawa yang luas dan bernama Rawa Kucing. Selain mencari ikan, masyarakat juga bertani karena selain rawa, di daerah Kelapa Gading sampai Pegangsaan ditanami padi. 

Satu hal yang unik di Kelapa Gading terdapat kuburan Pangeran Papak, yang lokasinya persis sebelum masuk perempatan Boulevard, Pulomas, Jalan Perintis Kemerdekaan. 

Selain kuburan Pangeran Papak, juga terdapat kuburan Kuwu (sekretaris desa) Pulogadung. 

Pangeran Papak ini adalah salah satu Menak Pajajaran pasca Prabu Siliwangi yang tidak mundur ke Garut. Uniknya di Garut ada kuburannya juga. Tak hanya itu, kuburannya juga ada di Cirebon. Jadi Pangeran Papak ini memiliki tiga kuburan, yaitu di Garut, Cirebon dan Kelapa Gading. 

Pangeran Papak membina semangat penduduk Pajajaran setelah kejatuhan Pelabuhan Kalapa oleh Fatahilah. Dalam Wawacan Aji Mantri Pusaka Sunda, Pangeran Papak merupakan pemimpin gerilya politik untuk fight back terhadap Fatahilah. Karena itu orang-orang tua zaman dulu sangat menghormati Pangeran Papak. 

Kuburan Pangeran Papak selama ini tersembunyi karena disepanjang Jalan Raya Perintis Kemerdekaan banyak pedagang kayu-kayu bekas, sehingga tertutup. 

Ketika hendak diadakan pelebaran jalan di Jalan Perintis Kemerdekaan, makamnya mau digusur. Namun tanpa diduga, datang puluhan ribu orang mengepung buldozer dan alat berat lainnya. Puluhan ribu orang itu tak jelas dari mana asalnya. Akhirnya penggusuran pun urung dilaksanakan. Petugas yang hendak mengeksekusi pun kabur. Akhirnya Pemda DKI menjadikan daerah pekuburan itu sebagai taman. Orang Betawi pun meyakini kalau di taman itulah jasad Pangeran Papak dimakamkan. 

Sampai saat ini, banyak orang yang mengklaim sebagai keturunan Pangeran Papak, baik orang Cirebon, Garut maupun orang Betawi. Satu keunikan lainnya, bagi mereka yang mengklaim keturunan Pangeran Papak, memiliki bentuk di kukunya bergaris-garis seperti kikir. 



PRABU GEUSAN ULUN

  1. Batara Sang Hyang Hawu (Eyang Jaya Perkasa)
  2. Batara Pancar Buana (Terong Peot)
  3. Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan)
  4. Batara Sang Hyang Kondang Hapa 

Dengan kejadian itu, kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran. 

Sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Suryakencana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. 

Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuatan besar (Kesultanan Banten & Cirebon) 

Pada masa pemerintahannya, terdapat peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan, yaitu dibawa kaburnya Ratu Harisbaya, salah satu istri raja Cirebon, Pangeran Girilaya, pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam. 

Terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. 

Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon, namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Majalengka yang diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya. Sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya. 

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak, salah satunya bernama Suriadiwangsa. Sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak, salah satunya bernama Rangga Gede. Untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari, maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua. 

Dalam masa tersebut, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi Kesultanan Banten setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan. Setibanya di Mataram, dia menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol. Penghargaan lain dari Sultan Agung ialah menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang tersebut dengan nama Prayangan, artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus. Di kemudian hari dengan lafal setempat, nama Prayangan berubah menjadi Priangan. 

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri dibawah proteksi Mataram adalah : 

  1. Hanya Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.
  2. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Sultan Mataram. 
  3. Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh. 
  4. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran. 
  5. Akibat peristiwa Harisbaya, hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis dan timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.
  6. Sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon, sementara Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuasaan tersebut. 

Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ±30 tahun kemudian, pada periode pemerintahan Pangeran Panembahan, itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. 



08 Juni 2020

Carita Parahyangan

Untuk pertama kalinya naskah ini diteliti oleh K.F Holle, diteruskan oleh C.M Pleyte. Kemudian naskah ini dialihbahasakan oleh Purbacaraka, sebagai tambahan terhadap laporan mengenai Batu Tulis di Bogor. 

Naskah Carita Parahiyangan menceritakan dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran akibat serangan Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak. 


Dalam menceritakan Prabu Maharaja, anaknya Aki Kolot, disebutkan sebagai berikut : 

Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna. Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit. 
Karena anak, Prabu Maharaja yang menjadi raja selama tujuh tahun, kena bencana, terbawa celaka oleh anaknya, karena Puteri meminta terlalu banyak. Awalnya mereka pergi ke Jawa, sebab puteri tidak mau bersuami orang Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit. 


Prabu Surawisesa, putra Ratu Jayadewata, mewarisi kekuasaan Kerajaan Sunda dalam masa yang tidak menguntungkan, sebab ada pemberontakan di beberapa wilayah (Banten, sunda Kelapa dan Cirebon) 

Dalam masa kekuasaannya selama 14 tahun, Prabu Surawisesa memimpin seribu prajurit dalam 15 kali perang. 

Naskah Carita Parahiyangan banyak menyebut nama tempat yang termasuk dalam kekuasaan Sunda. Sebagian dari nama-nama tempat tersebut masih ada sampai sekarang. 

  • Ancol
  • Arile di Kuningan
  • Balamoha
  • Balaraja
  • Balitar
  • Barus
  • Batur
  • Berawan
  • Cilotiran
  • Cimara upatah
  • Cina
  • Ciranjang
  • Cirebon
  • Datar
  • Demak
  • Demba
  • Denuh
  • Galuh
  • Galunggung
  • Gegelang
  • Gegeromas
  • Gunung
  • Gunung Banjar
  • Gunungbatu
  • Gunung Merapi 
  • Hanum
  • Hujung Cariang
  • Huluwesi Sanghiyang
  • Jampang
  • Jawa
  • Jawakapala
  • Jayagiri
  • Kahuripan
  • Kajaron
  • Kalapa
  • Keling
  • Kemir
  • Kendan
  • Kiding
  • Kikis
  • Kreta
  • Kuningan
  • Lembuhuyu
  • Majapahit
  • Majaya
  • Malayu
  • Mananggul
  • Mandiri
  • Medang
  • Medangjati
  • Medang Kahiangan
  • Menir
  • Muntur
  • Nusalarang
  • Padang
  • Padaren
  • Pagajahan
  • Pagerwesi
  • Pagoakan
  • Pajajaran
  • Pakuan
  • Pangpelengan
  • Paraga
  • Parahiyangan
  • Patege
  • Puntang
  • Rajagaluh
  • Rancamaya
  • Rumbut
  • Salajo
  • Saung Agung
  • Saunggalah
  • Simpang
  • Sumedeng
  • Sunda
  • Taman
  • Tanjung
  • Tarum
  • Tasik
  • Tiga
  • Wahanten Girang 
  • Wanakusuma
  • Winduraja
  • Wiru 

Syair Misbahuz Zaman

Sekrang ini zaman telah akhir 
Bermacam-macam barang yang dzohir 
Agama islam banyak yang pungkir 
Gemar meniru orang yang kafir 

Qur'anul adzim kitab yang suci 
Nabi Muhammad tinggi pekerti 
Jadi sasaran kata yang keji 
Sangat pedihnya didalam hati 

Di akhir zaman sungguhlah sukar 
ingin mengenal mana yang benar 
inikah puteri yang jujur sabar 
atau itukah pelacur sasar 

Wahai saudara di zaman akhir 
Hendaklah awas masa berfikir 
Jangan tertipu semerah bibir 
Turut meminum arak secangkir 

Tidakkah ini orang disebut 
Memeluk islam sungguh merengut 
Tidak berpeci berpecah rambut 
Pakai celana di atas lutut 

Pun gadis-gadis zaman sekarang 
Pandai berhias pakaian jarang 
Mengikal rambut atau mengepang 
Supaya pantas dipandang orang 

Mencium muka bersambung tangan 
Gemar datangi tempat tontonan 
Ditengah jalan di begal setan 
Nikah sesudah berdua badan 

Banyaklah bayi terlantar-lantar 
Terapung-apung di sungai besar 
Sungguh hatiku sedih dan gentar 
Itu akibat moderen nyasar 

Banyak wanita kurang malunya 
Ketek dan paha dibukakannya 
Bibir dan pipi di merahkannya 
Banyk lelaki jadi korbannya 

Halal dan haram tak dipeduli 
Asal uang saja yang disukai 
ilmu agama dianggap sepi 
Alim ulama tak dihargai 

Alim ulama semakin kurang 
Orang yang soleh semakin jarang 
Kepercayaan sangatlah jarang 
Datang kiamat sungguhlah terang 

Di akhir zaman kalau dipandang 
Orang berkumpul mengaji jarang 
Masjidnya indah besar dan terang 
Tetapi sunyi orang sembahyang 

Wahai saudara tua dan muda 
ini setengah menjadi tanda 
Akhir kiamat Tuhan bersabda 
Di kitab suci hadits tak beda 

Marga Assegaf

Marga Assegaf, diturunkan oleh Al-Quthub Ar-Robbani, Faqihil Muqaddam At-Tsani, Al-Imam Abdurrahman Assegaf, putera dari Imam Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad Faqih Muqaddam. 

Ibunya bernama Syarifah Aisyah binti Abu Bakar Al-Wara bin Ahmad bin Muhammad Faqih Muqaddam. 

Beliau digelari Assegaf yang bermakna "atap" karena kedudukan beliau diantara para Wali di zamannya bagaikan kedudukan atap dalam rumah karena tinggi dan luhurnya derajat kewalian beliau. 
Beliau adalah Quthub yang menjadi pelindung umat, ulama dan para wali di zamannya. 

Imam Abdurrahman Assegaf, memiliki tujuh anak perempuan, yaitu Maryam, Bahiyah, Fatimah, Asma, Aisyah, Alwiyah As-Sughra dan Alwiyah Al-Kubra. 
Semua adalah wanita mulia dan ahli ibadah. Sedangkan anak laki-lakinya berjumlah 13 orang, enam yang keturunannya terputus yaitu Umar Muhdhar, Muhammad, Ahmad, Ja'far, Syeikh dan Hasan. 
Sedangkan tujuh lainnya yang tetap menurunkan Assegaf serta marga-marga lain adalah Abu Bakar As-Sakran, Ali, Alwi, Abdullah, Agil, Husein dan Ibrahim. 

Assegaf termasuk marga generasi awal, sehingga banyak marga lain yang merupakan keturunan dari Assegaf, diantaranya marga Alaydrus, Al-Musyayyah, Bin-Syahab, Al-Hadi, Al-Masyhur, Al-Wahath, Al-Munawwar, Az-Zahir, Al-Baiti, Al-Kuraisiyah, Bin-Syeikh Abu Bakar, Ba'agil, Al-Quthban dan banyak lainnya. 

Imam Abdurrahman Assegaf lahir di Tarim tahun 739 H dan wafat di kota yang sama tahun 819 H dan dimakamkan di Zanbal bersama datuk-datuknya. 

Rujukan :
- Kitab Syamsu Dzahirah Fi Nasabi Ahlibait
- Kitab Masrurrawi Fi Manaqib Bani Alawi
- Buku Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi 

HILAL DI LANGIT BETAWI

Wilayah Betawi adalah dataran yang tidak berbukit dan tidak bergunung. Ketinggian tanahnya sampai hari ini berkisar antara 0 m sampai 50 m diatas permukaan laut, bahkan di beberapa tempat di utara, ada yang berada dibawah permukaan laut. Sebelum tahun 60-an, tidak terlalu banyak bangunan bertingkat tinggi. Masih banyak wilayah pandangan ke arah ufuk barat atau ke arah matahari tenggelam tidak terhalang oleh apapun. Dengan topografi seperti itu, ditambah dengan atmosfher yang bersih dan belum begitu tercemar polusi udara maupun cahaya, jelas sangat memenuhi syarat sebagai tempat yang strategis melakukan rukyatul hilal. Hal inilah yang membuat beberapa Ulama dan Habaib Betawi yang ahli di bidang ilmu falak membangun beberapa tempat untuk rukyatul hilal. Orang Betawi menyebutnya tempat ngeker bulan. Bahkan sampai hari ini, beberapa tempat masih diakui hasil rukyatnya oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) DKI Jakarta, seperti menara Masjid AlHusna Cakung, menara Masjid AlMakmur Klender dan menara Masjid AlMusyari`in Besmol. 

Jika dilihat dari sebaran tempat ngeker bulannya orang Betawi, maka dapat dibagi dua kategori wilayah Betawi, yaitu wilayah timur dan wilayah barat. Untuk wilayah barat Betawi terdapat dua tempat rukyatul hilal yang memiliki sejarahnya sendiri seperti menara Masjid AlManshur Sawah Lio, Jembatan Lima dan menara Masjid AlMusyari`in, Besmol. 

Masjid AlManshur didirikan pada tahun 1717 oleh Abdul Muhid, anak dari Tumenggung Tjakra Jaya, bangsawan dari Kerajaan Mataram. Sedangkan menaranya dibangun pada sekitar tahun 50-an oleh cicitnya, Guru Manshur, yang merupakan ahli falak Betawi ternama, pengarang kitab Sullam an-Nayyirain, kitab ilmu falak yang berpengaruh dan dijadikan salah satu rujukan sampai hari ini. Dari menara inilah Guru Manshur melakukan rukyatul hilal. Dikarenakan beliau sendiri menganut faham hisab (perhitungan) dengan kriteria wujudul hilal, sehingga kegiatan rukyatul hilal hanya sekedar untuk membuktikan hisab yang dilakukannya. Namun seiring perjalanan waktu, daerah Sawah Lio, Jembatan Lima, telah banyak bangunan bertingkat yang mengelilingi menara Masjid, bahkan ada yang mengalahkan ketinggian menara itu sendiri sehingga membuat pandangan ke arah ufuk barat menjadi terhalang. Akhirnya menara Masjid AlManshur ditutup untuk kegiatan rukyatul hilal. 

Untuk keberadaan tempat rukyatul hilal di menara Masjid AlMusyari`in, Besmol, tidak terlepas dari kiprah dan keterlibatan Habib Utsman Bin Yahya, Mufti Betawi. Sebagai seorang Mufti yang menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu falak. Pada waktu itu beliau melihat di sebelah barat Betawi terdapat dataran tinggi yang dikenal dengan nama Pisalo atau Besmol yang tingginya sampai hari ini tidak pernah kebanjiran. Pada waktu itu daerah Besmol hampir seluruhnya digunakan sebagai area persawahan dengan cuaca dan pemandangan ke arah ufuk barat yang sangat baik dan memenuhi syarat untuk dijadikan tempat rukyatul hilal. Karena itulah Habib Utsman terpikat dan menjadikan Besmol sebagai tempat untuk melakukan rukyatul hilal. Sepeninggalan Habib Utsman yang wafat pada tahun 1913, Besmol tidaklah redup sebagai tempat favorit masyarakat Betawi untuk ngeker bulan. Ulama yang kemudian menggantikan posisi Habib Utsman adalah KH. Abdul Majid atau Guru Majid, salah satu dari enam guru Betawi. Seperti Habib Utsman, Guru Majid juga lahir di Pekojan. Ketika Habib Utsman wafat, beliau berumur 26 tahun. Guru Majid merupakan alumni Makkah dan terkenal kedalaman ilmunya di bidang tasawuf, tafsir dan yang paling dikenal di bidang ilmu falak. Begitu terpikatnya dengan daerah Besmol, beliau bahkan ketika mau wafatnya meminta agar jenazahnya dikuburkan di tempat ini. Sekarang makam beliau berada tepat di depan Masjid Al-Musyari`in, Besmol. Seiring dengan waktu, pemandangan di Besmol ke arah ufuk barat mulai terhalang oleh bangunan. Terlebih sawah lapang yang dijadikan tempat rukyatul hilal dijadikan lintasan kali yang cukup lebar. Dikarenakan tidak lagi memungkinkan, menurut KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Ghani, tokoh dan penerus rukyatul hilal Besmol, pada tahun 1991, tempat rukyatul hilal dipindah ke Masjid Al-Musyari`in yang berjarak hanya beberapa meter dibelakang tempat yang lama. 

Syair Yaa Allah Yaa Rohman

Sya'ir Sayyidil Walid Al-Habib Abdurrahman Bin Ahmad Assegaf

Yaa Alloh Yaa Allohu
Yaa Rohman
Semoga Kami Sekalian
Menjumpai Masa Depan
Hari Raya Bulan Romadhon

Beserta Taufiq Hidayah
Sejahtera Sehat Afiah
Di Hujani Dengan Rohmat
Mohon Diberi Bantuan

Bertambah Yaqin Dan Ilmu
Yang Manfaat Tiap Waktu
Tak Tergoda Tak Tertipu
Oleh Hawa Nafsu Syetan

Menjujung Perintah Robbi
Tho'at Bakti Pada Nabi
Ulama Kami Hormati
Wafat Tenang Dalam Iman

Yaa Alloh Lindungi Bentengi
Kami Pun Sanak Famili
Yaa Alloh Lindungi Bentengi
Kami Pun Sanak Famili
Dari Perbuatan Keji 
Macam Macam Kejahatan

Perlindungan Kasih Sayang
Penjaga Syetan Pembimbang
Dosa Kami Tak Terbilang
Mohon Diberi Ampunan

Selain Kamu Yaa Alloh Maha Pengasih Pemurah
Selain Kamu Yaa Alloh Maha Pengasih Pemurah
Maafkan Orang Bersalah Siapakah Beri Ampunan

Walaupun Dosa Bergunung
Sebusa Laut Menggulung
Namun Rohmat Maha Agung
Meliputi Ahlil Iman

Dengan Rohmat Mu Yaa Robbi
Dan Syafa'at Kanjeng Nabi
Dengan Rohmat Mu Yaa Robbi
Dan Syafa'at Kanjeng Nabi
Bebas Masukan Kami Syurga Taman Kenikmatan

Aamiin Yaa Allohu
Yaa Rohman
Aamiin Yaa Allohu
Yaa Rohman
Aamiin Yaa Allohu
Yaa Rohman
Aamiin Yaa Wasi 'Alghufron 

Zaid bin Su'nah

Suatu hari ketika Rosululloh tengah melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid bin Su’nah menemui Beliau untuk menuntut utangnya. 
Yahudi itu menarik ujung gamis dan selendang Beliau sambil memandang dengan wajah yang bengis. 
Dia berkata “Ya Muhammad, lunaskanlah hutangmu padaku” dengan nada yang kasar. Melihat hal itu, Umar bin Khotob RA marah, ia menoleh ke arah Zaid sambil mendelikkan matanya seraya berkata “Hai musuh Allah, apakah engkau berani berkata dan berbuat tidak senonoh terhadap Rosul di hadapanku? Demi Dzat Yang telah mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena menghindari teguran Beliau, niscaya sudah kutebas engkau dengan pedangku” 
Sementara Rosul memperhatikan reaksi Umar dengan tenang, Beliau berkata “Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain (nasihat) Yaitu engkau anjurkan kepadaku untuk menunaikan hutangnya dengan baik dan engkau perintahkan dia untuk menuntut hutangnya dengan cara yang baik pula. Wahai Umar, bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan dua puluh sha’ kurma” 

Melihat Umar menambah dua puluh sha’ kurma, Zaid si Yahudi itu bertanya “Ya Umar, tambahan apakah ini?" 
Umar menjawab “Rosul memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti kemarahanmu” 
Si Yahudi itu berkata “Ya Umar, apakah engkau mengenalku?” 
“Tidak, lalu siapakah Anda?” Umar balas bertanya. 
“Aku adalah Zaid bin Su’nah” jawabnya. 
“Apakah Zaid si pendeta itu?” tanya Umar lagi. 
“Benar” sahutnya. 
Umar lantas berkata “Apakah yang mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap Rosululloh?" 
Zaid menjawab “Ya Umar, tidak satupun tanda2 keNabian kecuali aku pasti mengenalinya melalui wajah Beliau setiap kali aku memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan, yaitu apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil dan apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin menambah kemurahan hatinya. Dan sekarang aku telah membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku rela Allah sebagai Rabbku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabiku. Dan aku bersaksi kepadamu bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat Muhammad” 
Umar berkata “Ataukah untuk sebagian umat Muhammad saja sebab hartamu tidak akan cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad” 
Zaid berkata “Ya, untuk sebagian umat Muhammad" 
Zaid kemudian kembali menemui Rosululloh dan menyatakan kalimat syahadat. 

Kapitan Jonker

Mitos Kediri yang ditakuti para Pemimpin Negara

Mitos Kota Kediri selama ini dianggap sebagai wilayah wingit yang tak boleh didatangi oleh Presiden Republik Indonesia sangat kuat. Sebab dari enam Presiden yang berkuasa di Republik ini hanya dua Presiden yang berani datang ke Kota Kediri, yakni Bung Karno dan Gus Dur dan kedua-duanya akhirnya diturunkan dari kursi Presiden dengan cara politik. 

Salah satu alasan wingitnya Kota Kediri adalah akibat kutukan KARTIKEA SINGHA, suami Ratu Shima yang juga penguasa Kerajaan Kalingga (pra Mataram Hindu abad ke-6) di Keling, Kepung, Kabupaten Kediri. 

Kutukannya cukup jelas "SIAPA KEPALA NEGARA YANG TIDAK SUCI BENAR MASUK WILAYAH KOTA KEDIRI MAKA DIA AKAN JATUH" 

Pada masa pemerintahan Kartikea Singha, sebagai kepala negara, dia menyusun kitab tentang hukum pidana pertama di nusantara yang diberi nama Kalingga Darmasastra yang terdiri dari 119 pasal. 

Ada yang menyebut lokasi Kalingga berada di wilayah Jepara, Jawa Tengah. Ratu Shima memang berasal dari Jepara atau yang dikenal dengan nama Kalingga Utara, sedangkan suaminya Kartikea Singha berasal dari Keling Kepung Kediri atau yang dikenal dengan Kalingga Selatan. 
Dalam sejarah nusantara, di daerah Keling Kepung ini pernah kembali berjaya pada periode akhir Majapahit, tatkala kerajaan itu mengalami disintegrasi. Rupanya penguasa Kediri bangkit kembali dan pada tahun 1474 berhasil menumbangkan hegemoni Majapahit. Jawa dalam keadaan terpecah belah, kekuasaannya sampai tahun 1527 bergeser kembali ke Kediri (Daha) dengan pusat kekuasaan di Keling (Kepung-Kediri) dibawah Dinasti Girindrawardhana. Dalam Prasasti Jiu disebutkan bahwa pada tahun 1486 M, nama kerajaannya adalah Wilwatikta Daha Jenggala Kadiri. 

Disaat Indonesia merdeka dari penjajah pada tahun 1945, selain Bung Karno dan Gus Dur yang berani masuk wilayah KOTA KEDIRI, lainnya rata-rata hanya diwakilkan kepada wakil Presidennya. 

Informasi intelejen TNI maupun Polri juga memberikan keterangan yang sama, yakni rata-rata Presiden RI tidak berani masuk wilayah Kota Kediri. Kalaupun berani, mereka masuk wilayah pinggiran Kediri tetapi tidak berani masuk jantung Pemerintahan. Rata-rata mereka selalu was-was. 

Wan Abdul Bagus dan Kampung Melayu

Wan Abdul Bagus adalah seorang Melayu yang berasal dari Pattani, Thailand, yang merupakan putera dari seorang yang dikenali bernama Enchik Bagus. Konon dia dikenal sebagai orang cerdas, baik administratif maupun di lapangan sebagai perwira. Tak heran jika dipercaya VOC. 

Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta, Sumatera Barat. Pada abad 17, kompeni menancapkan kekuasaannya, dibantu dengan kelompok-kelompok suku di Nusantara untuk menguasai rekan-rekan sebangsanya. 

Pada masa bersamaan dengan Wan Abdul Bagus, dikenali juga kepala pasukan atau kapitan yg dipimpin oleh Kapten Jonker dari Maluku dan Aru Palaka dari Bugis. 

Wan Abdul Bagus meninggal karena usia tua pada tahun 1716 pada usia 90 tahun. 



Sejarah Ketupat

Kampung Rawa Bangke dan Jaga Monyet

Sampai dengan tahun 1960-an, di Jatinegara ada kampung bernama Rawa Bangke. Nama Rawa Bangke yang terkesan seram tak ada lagi. Mungkin supaya terdengar lebih manis, nama kampung itu telah berganti menjadi Rawa Bunga. 
Menurut cerita rakyat Betawi, nama itu berasal dari zaman penjajahan Inggris ketika pasukan Inggris berusaha merebut Batavia dari tangan Belanda tahun 1811. 
Dalam pertempuran sengit di daerah Jatinegara yang waktu itu masih bernama Meester Cornelis, banyak tentara Inggris meninggal. Mayat-mayat atau bangkai mereka terlihat bergelimpangan di rawa. Warga sekitar lantas menyebut rawa itu dengan nama Rawa Bangke. 
Versi lain menyebut Rawa Bangke berasal dari masa abad ke-18 Masehi. 
Daerah rawa itu diberi nama demikian setelah disana banyak ditemukan mayat orang cina pemberontak yang jadi korban pembantaian pasukan Belanda. 
Catatan sejarah menyebutkan sekitar 10.000 warga Batavia keturunan cina tewas dalam aksi pembunuhan besar-besaran yang terjadi pada Oktober 1740 itu. 

Nasib kampung Jaga Monyet sama. Kampung yang pernah ada di daerah Petojo, Jakarta Pusat, kini juga sudah raib dari peta Jakarta. Jalan yang dulu bernama Jalan Jaga Monyet pun sudah berganti menjadi Jalan Suryopranoto. 
Nama tempat atau toponim kampung Jaga Monyet muncul pada zaman VOC, antara abad ke-17 dan 18 Masehi. Pada masa itu disana terdapat benteng yang dibangun Belanda dengan tujuan untuk menangkal serangan pasukan Kesultanan Banten dari arah Grogol dan Tangerang. Kabarnya, kalau sedang tak ada serangan musuh, para serdadu disana lebih banyak menganggur. Karena kurang kerjaan, sehari-hari mereka cuma mengawasi kawanan monyet yang banyak berkeliaran didalam benteng yang pada masa itu masih dikelilingi hutan belantara. Dari kondisi itulah nama kampung Jaga Monyet kemudian muncul. 

07 Juni 2020

Pohon Bung Karno di Saudi Arabia

Bung Karno bisa dibilang cukup berjasa untuk Arab Saudi karena sosoknya masih dikenang sampai sekarang.

Salah satu hal yang dilakukan Bung Karno terhadap negara tersebut adalah dengan menghijaukan Padang Arafah. Ide itu mungkin terkesan sepele dan sederhana, namun bermanfaat dan bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia sampai detik ini. 

Seusai menjalankan ibadah haji sekitar tahun 60-an, Bung Karno menyampaikan cukup penting bagi pemerintah Arab Saudi. Satu dapat melakukan penghijauan di Padang Arafah dengan menanam jenis pohon yang dapat disetujui dengan menggunakan minyak di sana. 

Melihat usul yang disampaikan baik, pemerintah Arab Saudi langsung menyerahkan lahan seluas 1250 hektar untuk ditanami pohon Mindi. Demi mendapatkan tanaman yang bagus, kabarnya pemerintah Arab Saudi mendatangkan ahli hutan tanah, juga memutuskan untuk menanamnya menggunakan media kualitas tanah bagus dari Indonesia dan Thailand. Untuk menerima jasa Bung Karno, pemerintah Arab Saudi menamakan tanaman itu dengan pohon Soekarno. 

Tak disangka, pihak Arab Saudi benar-benar serius dalam merawat tanaman-tanaman tersebut. Selain memiliki tanah khusus untuk ditanami, pemerintah Arab juga menyediakan satu keran di setiap pohon. Mungkin maksudnya agat pohon lebih mudah disiram dan para jamaah haji pun bisa memanfaatkan keran air itu. Jika berkesempatan mengunjungi lokasi tersebut, jangan coba-coba untuk merusak tanaman-tanaman tersebut. Karena sesuai peraturan pemerintah Arab Saudi, barang siapa yang akan merusak Pohon Soekarno akan dikenakan denda berbentuk kambing. 

Pohon ini umumnya dapat tumbuh setinggi 10 hingga 20 meter. Pohon yang juga banyak ditemukan di negara Cina, Burma dan India ini memiliki ciri-ciri kulit batang berwarna coklat tua. 

Pohon Mindi atau Pohon Soekarno di Arafah tak hanya menjadi tempat berlindung para jamaah haji dari terik matahari, tetapi juga memiliki banyak manfaat kesehatan. Pohon ini dipercaya memiliki zat berkhasiat, baik itu di bagian daun, buah maupun biji yang bisa mengobati berbagai macam penyakit. Misalnya saja tujuh lembar daun mindi yang dapat digunakan untuk penyakit darah tinggi, atau kulit akar mindi untuk para penderita penyakit kulit seperti kudis. Gatal-gatal bisa juga diatasi dengan tanaman ini. Selain itu komponasi dalam tanaman ini juga ampuh mengobati penyakit cacingan. 



ASMARAGAMA

Asmaragama adalah ajaran percintaan yang diambil dari filosofi Jawa berdasarkan kehidupan para raja. 
Asmaragama juga lazim disebut seni bersenggama antara suami istri. 
Dalam perkembangannya juga muncul Aji Asmaragama sebagai ilmu mistik kamasutra asli Jawa yang digunakan untuk membuat pasangan menjadi lebih sayang. 

Asmaragama tidak melulu mengajarkan tentang teknik persenggamaan, melainkan ada 6 tahapan yang harus dilewati dalam asmaragama. 
  1. Asmaranala : Tahap ini merupakan tahap ketika pasangan suami-istri telah memiliki rasa cinta kasih satu sama lain. Ada keterikatan batin yang memunculkan rasa kasmaran dan kepedulian.
  2. Asmaratura : memiliki makna daya tarik yang berasal dari pandangan atau juga bisa disebut mengungkapkan ketertarikan fisik. Bisa berupa pujian atau rayuan terhadap fisik pasangan. Hal ini dapat menjaga keharmonisan pasangan suami-istri.
  3. Asmaraturida : memiliki makna daya tarik yang berasal dari suara. Hal ini dapat berupa desahan, erangan manja atau tawa. Oleh sebab itu, unsur canda menjadi faktor penting dalam membina hubungan.
  4. Asmaradana : memiliki makna daya tarik yang berasal dari ucapan atau pemilihan kalimat. Merangkai kalimat-kalimat indah akan membuat luluh pasangan. Mempersembahkan puisi dan syair adalah salah satu caranya.
  5. Asmaratantra : Pada tahap ini, pasangan suami-istri hendaknya telah memiliki getaran satu sama lain. Mengarah pada tindakan yang membuat gairah semakin berkobar, seperti berciuman.
  6. Asmaragama : Inilah tahap yang menjadi pintu gerbang persenggamaan. Jika kelima tahap sebelumnya telah diterapkan sehari-hari, maka tahap asmaragama akan dapat dilalui dengan mudah. Pada tahap asmaragama, diajarkan untuk tidak tergesa-gesa. Persiapan seperti membersihkan diri dan bersemedi seperti yang konon dilakukan para raja, mengandung makna pembersihan diri dan hati sebelum melakukan persenggamaan. 

Cerita Panji

Habib Ali Bungur

Al-Habib Ali bin Husin Alatas (Habib Ali Bungur) 
Dari Huraidhah ke Betawi. 

Berjubah dan bersurban putih serta selempang hijau (radi) Habib Ali bin Husin Alatas, baik semasa tinggal di Cikini maupun Bungur menerima murid-muridnya atau masyarakat yang ingin menanyakan sesuatu hukum atau persoalan agama. 
Seperti diungkapkan Habib Ali bin Abdurahman Assegaff, dalam mengajar, Almarhum biasanya berhadap-hadapan dengan para Kiai atau Ulama ternama yang datang ke kediamannya. Para ulama ini umumnya para pimpinan majelis ta'lim. 
Misalnya KH Abdullah Syafiie, KH Tohir Rahili, KH M Syafi’i Hadzami, KH Noer Ali dari Bekasi. 
Sejumlah Ulama Betawi lainnya dari generasi yang lebih muda diantaranya KH Abdurahman Nawi, pimpinan majelis ta'lim Al-Awwabin Tebet dan Depok. 
Tapi menurut Habib Ali Assagaff, diantara ulama-ulama ternama juga banyak dari luar Jakarta. Bahkan dari Jawa Timur seperti Habib Husein Almachdor (Bondowoso) Habib Abdullah Bilfagih (Surabaya) 

Di kediamannya, Habib Ali Bungur menerima mereka yang membacakan suatu kitab atau menanyakan suatu masalah kepadanya. Lalu Almarhum menerangkan mengenai isi kitab tersebut. 
Habib Ali Assagaff yang pernah beberapa tahun berguru kepada Almarhum membenarkan. Umumnya yang belajar kepada beliau adalah para ulama dan kiai ternama. Tapi banyak yang ketika itu menjadi kader-kader ulama, kini telah berhasil menjadi ulama terkemuka. 

Meskipun para murid yang belajar kepadanya tidak bersifat massal, tapi Habib Ali Bungur seringkali mendatangi diskusi dan pengajian antar ulama dan kader-kader ulama. Jumlah mereka memang tidak banyak, hanya puluhan orang. 
Seperti dikemukakan putranya, Habib Husein, biasanya pengajian yang dihadiri lebih banyak muridnya diadakan secara rutin di majelis ta'lim Attahiriyah, pimpinan KH Tohir Rohili. Sering pula pengajian semacam ini diadakan di kediaman atau pengajian KH Abdullah Syafi’ie (As-Syafiiyah), KH M Syafi’i Hadzami (Majelis Taklim Asyirotusy-Syafi’iyah) dan di majelis ta'lim Habib Abdurahman Assegaff, Bukit Duri. 

Tidak seperti di majelis ta'lim Kwitang dimana Habib Ali Alhabsji mengajar di hadapan ribuan jamaah, Habib Ali Bungur hanya di kalangan terbatas. Seperti dikemukakan oleh KH M Syafi’i Hadzami, salah satu murid kesayangannya, cara mengajarnya ialah mendengarkan para murid-muridnya satu persatu membacakan kitab, lalu beliau memberikan keterangan dan dilanjutkan dengan tanya jawab. Baik di Cikini maupun di Bogor, selama 56 tahun Habib Ali Bungur membuka semacam majelis ta'lim khusus untuk para pimpinan dai dan mubaligh. Antara keduanya sampai akhir hayat terjalin hubungan yang sangat akrab dan keduanya setiap saat sering bertemu. 
Dalam diskusi terbatas semacam ini, sejumlah kitab yang menjadi rujukan ulama salaf dibahas. Seperti kitab Minhajud Thalibin, kitab Hadis Bukhari-Muslim, hingga kepada kitab-kitab Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali. 
Sejumlah ajengan dan mubaligh dari Bogor, Sukabumi dan Cianjur, banyak yang mendatanginya. 
Almarhum juga teman akrab para ulama intelektual kala itu, seperti KH Abdullah bin Nuh, Prof Dr Abubakar Atjeh dan juga Hamka. 
Menurut KH Syafi’i Hadzami, dia telah menimba ilmu kepada Habib Ali Bungur selama 18 tahun. Dari tahun 1958 hingga meninggalnya almarhum pada Februari 1976. Begitu cintanya ia kepada gurunya ini sehingga ketika Habib Ali pindah ke Bungur, KH Syafi’i dari Kebon Sirih ikut-ikutan pindah. Setelah Habib Ali meninggal dunia, kecintaannya terhadap gurunya ini tidak berkurang. 
”Setiap kali saya melewati daerah makamnya di Cililitan, saya selalu membacakan Fatihah dan mendoakannya” kenang KH Syafii Hadzami dalam buku Sumur Yang Tak Pernah Kering. 

Habib Ali bin Husin Alatas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 atau 1889 Masehi. 
Karena pada akhir hayatnya ia dan keluarga tinggal di Bungur, maka orang menyebutnya dengan sebutan Habib Ali Bungur. Sebelumnya tinggal di Cikini hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini. 
Sejak usia enam tahun ia telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 dalam usia 23 tahun ia pun menunaikan ibadah haji. Di kota suci, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917, ia kembali ke Huraidhah dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu. 
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920, dalam usia 41 tahun ia berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, beliau yang selalu dekat dengan rakyat itu telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Beliau dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat. 

Habib Ali Bungur pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fikih, falsafah, tasawuf dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab, Habib Ali Alatas selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura banyak muridnya. 
Seperti dikemukakan oleh putranya yang kini meneruskan majelis ta'lim ‘Al-Khairat’ di Condet, ayahnya memang tidak mau menonjolkan diri. Padahal diantara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. 
Menurut Habib Husein, ayahnya sangat gandrung kepada persatuan umat (ukhuwwah Islamiyah) di samping sabar dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan dakwah. Selain di kediamannya, ayahnya juga mengajar di berbagai tempat. Seperti pada setiap habis shalat Jumat dia mengajar di Attahiriyah. 

Baik selama di Cikini maupun di Bungur, almarhum menetap di lingkungan kampung bersama rakyat jelata. Seperti dikemukakan oleh salah satu muridnya, Habib Ali bin Abdurahaman Assegaff ”Setiap orang yang mengenal almarhum selalu akan berkata, hidupnya sederhana dan tawadhu. Beliau tidak pernah menyakiti sesama manusia, teguh memegang prinsip, menolak pengultusan, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran" 
Yang perlu diikuti oleh para ulama masa kini, beliau tidak membeda-bedakan kaya dan miskin. 

Dalam mendekatkan diri dengan rakyat jelata, putranya menerangkan, almarhum ayahnya selalu naik becak atau kendaraan umum karena sikapnya yang ingin berdiri dengan kaki sendiri. Melihat keadaan ini, sering diantara para muridnya yang memaksa beliau untuk menaiki mobilnya. Karena tidak tega melihatnya naik becak dalam usia lanjut. Sampai akhir hayatnya, ia tidak memiliki mobil karena menerapkan hidup sederhana dan tidak pernah mau menadahkan tangan kepada orang kaya. Ketika berdakwah ke berbagai tempat, ia lebih banyak naik becak. Hanya dalam waktu singkat, ia pun menjadi sumber ilmu dari para kiai dan ulama kala itu. Hingga kediamannya di Cikini, di sebuah gang kecil yang tidak dapat dimasuki mobil, selalu didatangi para muridnya yang ingin menambah ilmu. 
Pada tahun 1960, rumahnya di Cikini terbakar. Maka ia pun pindah ke Bungur, yang mayoritas penduduknya warga Betawi. 
Disamping itu, Habib Ali pun dalam dakwah banyak mendatangi berbagai tempat di Pulau Jawa. Seperti yang dikemukakan oleh KH Idham Chalid, yang juga pernah berguru padanya, almarhum dalam perjuangannya tidak pernah menonjol-nonjolkan diri bahwa ia seorang yang pandai. Idham Chalid kala itu mengatakan, almarhum berani mengoreksi para pemimpin, saya sendiri sering dikoreksinya. 
Bagi KH M Syafi’i Hadzami, ada pengalaman tak terlupakan dengan gurunya itu. Suatu ketika ia menjenguk gurunya yang sedang sakit di kediamannya. Sebagai penghormatan dan adab pada guru, ia pun membuka sandalnya di luar kamar. Melihat muridnya demikian, ia pun menyuruh agar memakai sandalnya itu. Karena KH M Sjafi’i menolak, Habib Ali yang tengah sakit, keluar dari kamarnya. Ia mengambil sandal muridnya dan minta agar memakainya 
”Saya terkejut dengan perlakuan guru saya yang demikian itu” ujarnya. 
Selain Sjafi’i Hadzami, nama-nama besar lain yang pernah menimba ilmu darinya adalah Habib Muhammad Alhabsji (putra Habib Ali Kwitang) Habib Abdulkadir bin Abdullah Bilfagih (Malang) KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Abdulrazaq Ma’mun, Prof Dr H Abubakar Atjeh, KH Noer Ali (Bekasi) dan sejumlah ulama kondang lainnya. 

Almarhum meninggal dunia pada 16 februari 1976 dalam usia 88 tahun. Guru dari beberapa lembaga ilmiah, majelis ta'lim dan perguruan agama ini, memang dikenal low profile. 

Syair Siti Zubaidah Perang Cina