Sekolah Pertukangan adalah cikal bakal Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia. Nenek moyang anak STM dan pendidikan kejuruan di Indonesia boleh dibilang berasal dari zaman VOC. Sekolah berorientasi kejuruan pertama adalah Akademi Pelayaran (Academie der Marine) yang didirikan VOC pada tahun 1743, tetapi ditutup kembali pada tahun 1755.
Ketika kekuasaan VOC berakhir pada penghujung abad ke-18, pendirian sekolah-sekolah dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang didasarkan atas keturunan, bangsa dan status sosial. Pendidikan kejuruan kemudian dilanjutkan kembali pada pertengahan abad 19.
Pada 1853, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Ambacht School van Soerabaia (Sekolah Pertukangan Surabaya) ini adalah sekolah kejuruan pertama di Indonesia. Berbentuk sekolah teknik menengah, kelas belajarnya diselenggarakan malam hari untuk anak-anak Indo Belanda. Pada 1856, sekolah serupa didirikan di Jakarta.
Darmaningtyas mencatat dalam "Pendidikan yang Memiskinkan" (2004) bahwa Wardiman Djojonegoro selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998, memiliki andil dalam perubahan nama-nama sekolah kejuruan, termasuk STM. Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Sekolah Menengah Keterampilan Keluarga (SMKK), Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut oleh Mendikbud melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 036/0/1997, namanya diseragamkan menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Dalam buku "Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman" (1986) Pada tahun 1856, Ambachtsschool menyediakan perkumpulan Kristen. Bukan hanya perkumpulan Kristen, pada tahun 1865, sebuah tarekat Mason Bebas alias Freemason juga mendirikan Ambachtsschool di Batavia. Informasi ini disampaikan oleh Th.Stevens dalam "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764 - 1962" (2004)
Bahasa pengantar di sekolah-sekolah pertukangan adalah bahasa Belanda. Para siswanya merupakan sekolah dasar yang berbasis Belanda, seperti Hollandsch Inlandsch School (HIS), Hollandsche Chineesche School (HCS) dan Schakelschool (Sekolah Peralihan) yang lama pendidikannya tiga tahun.
Jurusan di Ambachtsschool antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan penata batu. Tujuan dari sekolah ini adalah Skor W Erkbaas atau mandor.
Saat pelajaran di Ambachtschool milik Tarekat Mason Bebas tersebar luas, mereka membuka sekolahnya untuk pemerintah kolonial. Sekolah itu kemudian dikenal dengan nama Koningen Wilhelmina School (KWS)
Alumni KWS Batavia yang terkenal adalah Friedrich Silaban, perancang Masjid Istiqlal dan Teuku Muhammad Hasan yang pernah menjadi gubernur Sumatra pertama.
Setiadi Sapandi dalam buku Friedrich Silaban (2017) mencatat, perancang Masjid Istiqlal itu belajar di KWS Batavia, di Surabaya ada sekolah teknik bernama Koningen Emma School (KES) dan Koningen Princes Juliana School. Selain di Batavia dan Surabaya, di Bandung juga ada Ambacht Leergang atau pelatihan pertukangan yang menerima siswa sekolah dasar yang kualitasnya di bawah HIS. Selain kursus yang menyenangkan, Bandung juga punya Gemeentelijke Ambachtsschool. Salah satu jebolannya adalah Jenderal Amirmachmud, mantan Menteri Dalam Negeri di era Orde Baru.
“Pendidikan saya hanya Sekolah Teknik (Ambachtschool) setelah menamatkan HIS. Lebih lengkap hanya untuk SMA yang sekarang. Minimal kemampuan bahasa Inggris saya yang juga minimal" kata Amirmachmud seperti mengutip Julius Pour dalam Baramuli Menggugat Politik Zaman (2000)
Dari dunia sepakbola, lulusan Ambachtsschool yang terkenal adalah Tan Liong Houw alias Latief Harris Tanoto. Ia lulus dari Ambachtschool di Jakarta pada 1947.
Dalam "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764 - 1962, sekolah kejuruan pada zaman kolonial bukan hanya Ambachtschool. Di Semarang misalnya, sekolah yang ditujukan untuk para gadis.
Kala itu, sekolah menengah yang menerima sekolah dasar Belanda bukan hanya Ambachtsschool. Saat masuk STOVIA alias sekolah dokter Hindia, Radjiman Wediodiningrat, Soebroto alias Soetomo dan Wahidin Sudirohusodo, berstatus sebagai sekolah dasar dari Eropa Lager School (ELS) Begitu juga saat Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja dan Besar Martokusumo masuk Rechtschool alias sekolah hakim di Batavia, status mereka adalah sebagai sekolah dasar. Sekolah hukum dan sekolah dokter menjadi sekolah tinggi yang hanya menerima siswa sekolah menengah seperti Algemene Middelbare School (AMS)
Setelah Indonesia merdeka, nama Ambachtsschool berganti menjadi Sekolah Teknik Pertama (STP) yang masa belajarnya hanya dua tahun. Sebelum 1950, seperti dicatat Suradi HP dan kawan-kawan dalam "Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan" (1986) masa belajar di sekolah ini menjadi tiga tahun, sesuai dengan SMP dengan nama Sekolah Teknik (ST) Sekolah ini menerima hasil dari Sekolah Rakjat. Jurusannya antara lain bangunan, cor, keramik, kulit, listrik, cetak, radio, tenun dan sebagainya. Lulusan ST biasanya melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM)
Pada umumnya, STM memiliki beberapa jurusan seperti kimia, listrik, mesin, mesin kapal, radio, tambang, pemeliharaan mesin uap, pemeliharaan mobil, pemeliharaan alat listrik, instrumen pesawat terbang, kerangka motor, pesawat terbang dan ukiran. Salah satu orang yang memulai bersekolah di STM adalah Robby Kaihana atau Robby Sugara (1950 - 2019) Ia terkenal bukan sebagai ahli teknik, tapi populer sebagai aktor era 1970-an yang masuk dalam "Lima Besar" karena bayarannya sangat mahal.
Dalam "Apa Siapa Orang Film Indonesia"(1926 - 1978) yang disusun oleh Sinematek Indonesia, Robby Sugara disebut lulusan STM Poncol, jurusan Sipil Bangunan. Lulusan STM jurusan bangunan lainnya yang hadir di dunia hiburan adalah Koesdjono Koeswojo, kakak Tonny Koeswojo, yang ikut mengumpulkan Koes Bersaudara. Contoh lain lulusan STM yang dikenal oleh masyarakat, seperti yang dicatat Amiruddin Sormin, 100 Tokoh Terkemuka Lampung : 100 Tahun Kebangkitan Nasional (2008) adalah Jenderal Ryamizard Ryachudu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar