12 Oktober 2020

Kalender Jawa (Kalender Sultan Agungan)

Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada pemerintahan Sultan Agung (1613-1645)
Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam.
Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India.
Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari (solar)
berbeda dengan Kalender Hijriah atau Kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan (lunar)
Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan waktu. Untuk itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriah.
Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.
Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan.
Karena pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, maka pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah. 

Tahun Jawa atau tahun Jawa Islam Sultan Agung, memiliki berbagai macam siklus. Siklus harian yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara (siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari) 
Saptawara atau padinan terdiri dari ngahad (dite), senen (soma), selasa (anggara), rebo (buda), kemis (respati), jemuwah (sukra) dan setu (tumpak).
Siklus tujuh hari ini sewaktu dengan siklus mingguan pada kalender Masehi : Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. 

Pancawara terdiri dari kliwon (kasih), legi (manis), pahing (jenar), pon (palguna), dan wage (cemengan)
Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Karena itu kini banyak dikenal nama-nama pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon dan Pasar Wage.

Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus 6 hari yang disebut sadwara atau paringkelan. Walau kadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di Keraton. Paringkelan terdiri dari tungle, aryang, warungkung, paningron, uwas dan mawulu

Seperti pada penanggalan lainnya, kalender Jawa memiliki dua belas bulan. Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa : sura, sapar, mulud, bakdamulud, jumadil awal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, pasa, sawal, dulkangidah dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari. 

Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itu terdapat siklus delapan tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing memiliki nama tersendiri : alip, ehe, jimawal, je, dal, be, wawu dan jimakir. 

Tahun ehe, dal dan jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang (taun wuntu), sedang sisanya 354 hari dikenal sebagai tahun pendek (taun wastu)
Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai bulan terakhir memiliki umur 30 hari. 
Selain itu terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun dimana nama hari, pasaran, tanggal dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama kuntara, sangara, sancaya dan adi. 

Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, kulawu dan langkir. Masing-masing lambang berumur 8 tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun. Meski demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Tiap 120 tahun sekali akan ada perbedaan satu hari pada kedua sistem penanggalan tersebut. Maka pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup. Sampai awal abad 21, telah terdapat empat khurupNama khurup yang berlangsung, mengacu pada jatuhnya hari pada tanggal 1 bulan sura tahun alip. Pada khurup asapon, tanggal 1 bulan sura tahun alip, akan selalu jatuh pada hari selasa pon selama kurun waktu 120 tahun. 

Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan seperti halnya pada astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut wuku, dan ilmu perhitungannya disebut sebagai pawukon. 
Terdapat 30 wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur wuku. 

Selain wuku, terdapat juga neptu, yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam neptu, neptu dina dan neptu pasaran. Neptu dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari pada saptawara, sedang neptu pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari pada pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu, juga perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut. 

Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada jumat legi tanggal 1 sura tahun alip 1555 J atau 1 Muharram 1043 H atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini terdapat pada windu kuntara lambang kulawu, dan ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi “jemparingen buto galak iku” (Panahlah raksasa buas itu)

Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara tradisi seperti garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, namun malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri. Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsiliasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar