27 Oktober 2020

Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara

Bismillahirrohmanirrohiim 
Minta maaf minta ridho 

Saya coba tulis kembali sebuah biografi Tuan Guru Marzuqi bin Mirshod, gurunya ulama Betawi. 
Tidak lebih tidak kurang hanya untuk memperkenalkan ke generasi sekarang tentang Guru yang sangat berpengaruh di Betawi dan untuk kita bersama-sama lebih bersemangat lagi dalam mempelajari ilmu agama. 

Sebuah biografi singkat seorang ulama Jakarta atau Betawi dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. 
Masyarakat Betawi biasa menyebut beliau dengan sebutan "Guru Marzuqi" 
Yang membedakan beliau dengan sebutan mu'alim dan ustadz meskipun dalam beberapa tulisan terkadang disebut dengan Kiai Marzuqi. 

'Guru' adalah level tertinggi dalam derajat keulamaan di kalangan masyarakat Betawi atau Jakarta tempo dulu.

Guru Marzuqi termasuk "enam guru" atau "the six teachers" dari para ulama Betawi dari akhir abad ke-19 hingga awal dan pertengahan abad ke-20. 
Keenam Guru tersebut adalah : 
1. Guru mansur Jembatan Lima 
2. Guru Majid Pekojan 
3. Guru Kholid Gondangdia 
4. Guru Romli menteng 
5. Guru Mughni Kuningan 
6. Guru Marzuqi Cipinang Muara 

Dari keenam Guru tersebut di atas bisa dikatakan Guru Marzuki termasuk ulama yang relatif lebih banyak menuliskan pemikirannya dalam bentuk kitab atau risalah dibanding dengan ulama lainnya. 
Memang karya tulis Guru Mansur lebih banyak dari Guru Marzuqi. 
Namun jika dilihat dari daftar murid-murid yang ditunjukkan dalam silsilah guru-murid maka murid-murid dari Guru Marzuqi adalah yang paling banyak menjadi ulama dibanding dengan Guru Mansur.

Nama lengkap beliau sebagaimana tertulis dalam karya-karyanya adalah Ahmad Marzuqi bin Mirshod. 
Adapun namanya yang lebih lengkap tersebut dalam riwayat hidup yang ditulis oleh anak beliau Muhammad Baqir bin Guru Marzuqi yakni Ahmad al-Marzuqi bin al-Mirsad bin Hasnum bin Khatib Sa'ad bin Abd al-Rahman bin al-Sultan al-Mulaqab bi Laqsana Malayang yang merupakan salah seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan. 
Jadi dari sisi ayah, Guru Marzuqi masih mempunyai darah keturunan bangsawan Melayu Pattani. 
Adapun ibunya bernama al-Hajah Fatimah binti almarhum al-haj Syihab al-din bin Magrabi al-Maduri yang berasal dari pulau Madura keturunan Maulana Ishaq Gresik Jawa Timur. 
Adapun kakek dari ibunya yakni Syihab al-din adalah seorang khatib di Masjid Jami' al-Anwar Rawa Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara Jakarta Timur. 
Dalam karya-karyanya, Guru Marzuqi biasa menambahkan dengan kata 'Muara' sehingga menjadi Ahmad Marzuqi Muara, yang maksudnya adalah Cipinang Muara dan itulah yang menjadi cikal bakal daerah yang disebut Cipinang Muara. 
Maksud Muara adalah sebuah tempat bermuaranya orang-orang yang belajar ilmu agama. Tempat itu adalah tempat dimana Guru Marzuqi mengajar. 
 
Guru Marzuqi dilahirkan pada malam Ahad (Minggu) di kediaman ayahnya, Rawa Bunga Jatinegara pada 16 Ramadhan 1293 H (5 Oktober 1877 M). 
Sejak umur sembilan tahun Guru Marzuki ditinggal wafat sang ayah yang kemudian hanya diasuh oleh ibunya dalam suatu kehidupan yang sederhana. 
Setelah berumur 12 tahun, ibunya mengirimkan Marzuqi kecil untuk belajar Alqur'an dan dasar-dasar ilmu agama pada seorang ustadz yang bernama Anwar. 
Baru pada umur 16 tahun, Guru Marzuqi diserahkan kepada ulama yang bernama Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan 

Dari karya-karyanya di bidang teologi, terungkap bahwa Guru Marzuqi berdiri di antara 'disiplin dalam beragama' dengan toleransi kepada sesama Muslim. 
Secara individual, Guru Marzuqi menekankan kedisiplinan dalam akidah dan ibadah. Namun dalam konteks relasi sosial sesama Muslim, Guru Marzuqi mengedepankan toleransi. Terbukti dari pandangan yang hati-hati dalam memberi penilaian kafir. Pengungkapan pemikiran Guru Marzuki dapat menyumbangkan khazanah intelektual mengenai persoalan kafir yang hingga kini menjadi isu yang selalu muncul di Indonesia. Pemikiran Guru Marzuqi memberikan kontribusi bagi sejarah pemikiran Islam moderat di Indonesia.

Atas permintaan Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan, Guru Marzuki atas persetujuan ibunya pergi ke Mekah untuk beribadah haji dan menuntut ilmu agama layaknya ulama Jawi (Nusantara-Indonesia) pada masa itu. 
Ia berangkat menuju Mekah pada tahun 1325 H (1907/8M). 
Marzuqi muda pulang kembali ke Jakarta pada 1332 H (1913/14 M) dan diminta oleh gurunya Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan untuk menggantikannya mengajar ilmu agama di Masjid Jami' al-Anwar Rawa Bangke (Rawa Bunga) Jatinegara hingga gurunya wafat. 
Kemudian dalam catatan riwayat yang ditulis oleh Muhammad Baqir bin Guru Marzuqi, Guru Marzuqi pindah ke Kampung Muara atau yang lebih dikenal dengan Cipinang Muara pada tahun 1340 H (1921/22 M). 
Hal ini disebabkan keadaan di Rawa Bunga sudah tidak memungkinkan lagi untuk tempat belajar dan mengajar agama karena lingkungannya sudah rusak. 
Tidak jelas benar apa yang dimaksud dengan "lingkungan yang sudah rusak" ini? 
Namun tampaknya yang dimaksud adalah sudah rusak dalam konteks moralitasnya sebab dalam riwayat Guru Marzuqi disebutkan bahwa ketika Guru Marzuqi memutuskan pindah ke Muara, kondisi Rawa Bunga sudah tidak lagi kondusif untuk belajar para santri yang dapat mengganggu psikologi belajarnya.

Di Kampung Muara inilah yang sekarang menjadi wilayah Cipinang Muara, Guru Marzuqi mengajar dan menulis kitab. 
Banyak murid dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta (Batavia) berdatangan untuk belajar kepadanya. Begitu juga banyak penduduk setempat yang memeluk agama Islam karena dakwahnya. Banyak pula murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal. 
Dalam banyak karyanya ia selalu menuliskan bahwa ia berasal dari Kampung Muara. Hingga saat ini masjid yang awalnya dibangun oleh beliau masih berdiri.

Guru Marzuqi juga mempelajari tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat 'Alawiyyah dari Syaikh Muhammad Umar Syata yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat Khalwatiyah dari Syaikh Usman bin Hasan al-Dimyati. 
Tarekat 'Alawiyyah ini merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia. 
Tarekat ini cukup populer di Hadramaut yang merupakan daerah asal para pendakwah yang membawanya ke Asia Tenggara. 
Di Indonesia, tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula menetapkan syaikh tertentu. 
Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawatib (bacaan rutin sehabis salat wajib 5 waktu) yang diwarisi secara turun temurun sejak Rosululloh dan Sahabatnya. 
Para pemukanya juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong untuk selalu membaca rawatib dan wirid-wirid.

Guru Marzuqi wafat pada 25 Rajab 1352 H (Senin 13 November 1934 M) dan dimakamkan berdekatan dengan komplek Masjid Al-Marzuqiyah di kawasan Cipinang Muara sekarang. 
Beliau meninggalkan tiga orang istri dan sembilan orang putra serta sembilan orang putri. 
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) memberikan penghargaan kepada beliau karena telah ikut mendirikan NU di Batavia/Jakarta pada tahun 1928 dan beliau juga menjadi Rais Syuriah hingga wafat. 

Guru Marzuqi memiliki banyak murid yang menjadi ulama terkenal terutama yang berada di lingkungan masyarakat Betawi. 
Sebagaimana dalam keterangan yang dibuat oleh Muhammad Baqir bin Guru Marzuqi setidaknya ada 70 murid yang pernah belajar kepada Guru Marzuqi yang kemudian menjadi ulama. 
Beberapa nama ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat Betawi di Jakarta maupun Bekasi adalah KH Noer Ali Bekasi, KH Abdullah Syafi'i, KH Thohir Rohili, KH Hasbiyallah Klender, KH Ahmad Zayadi pendiri pondok pesantren Azziyadah serta ulama lainnya. 

Tidak heran bila beliau dijuluki sebagai "gurunya ulama Betawi" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar