09 April 2020

Sultan Hamid Alkadrie



Sultan Hamid II atau Sultan Hamid Alkadrie adalah putra sulung Sultan Pontianak ke 6. Beliau perancang lambang Garuda Pancasila. Di dalam tubuhnya mengalir darah Habib. 

Beliau lahir pada tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak dari pasangan Syarif Muhammad al-Qadri dan Syecha Jamilah Syarwani. Sampai usia 12 tahun beliau dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia, Salome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris, Edith Maud Curteis. 

Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal, namun Hamid masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis. 

Beliau menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta dan Bandung. Kemudian melanjutkan pendidikan ke KMA di Breda, Belanda dan meraih pangkat letnan di kesatuan KNIL. 

Ketika Jepang mengalahkan Belanda, beliau tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Pangkat tersebut dikatakan sebagai pangkat tertinggi yang saat itu diberikan kepada putera Indonesia. 

Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, beliau diangkat menjadi Sultan Pontianak. Jelas pengangkatannya ini adalah kemauan sebagian besar rakyat Kalbar yang tak ingin adanya kekosongan jabatan dalam pemerintahan kesultanan. 

Dalam perjuangan federalisme, beliau memperoleh jabatan penting sebagai wakil Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB. 

Beliau kemudian memperoleh jabatan 'Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden' yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten Ratu Kerajaan Belanda. 

Pada tanggal 17 Desember 1949, beliau diangkat Bung Karno ke kabinet RIS. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri, Bung Hatta. Selama jabatan itu, beliau ditugaskan Bung Karno untuk merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. 


Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku 'Bung Hatta Menjawab' untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut, Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. 

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai yang dianggap bersifat mitologis. 

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali yang menjadi Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS. 

Ag Pringgodigdo, dalam bukunya 'Sekitar Pancasila' menyebutkan rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Garuda masih gundul dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta, pada 15 Februari 1950. 

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Garuda yang gundul menjadi berjambul dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkeram pita yang semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. 

Tahun 2016 telah sah diakui sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional. Penetapan tersebut ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi dengan Surat Keputusan (SK) Nomor 204 Tahun 2016. Pada 24 September 2018, Ketum Yayasan Sultan Hamid II, Anshari Dimyati, yang diutus Max Jusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan SH II, yang menerima plakat/sertifikat Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional untuk Lambang Negara karya Sultan Hamid II ini. Penyerahan ini dilakukan oleh Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Triana Wulandari, mewakili Mendikbud. 

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara, di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta, pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh istana Kadriyah, Pontianak. 

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung, sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Beliau teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. 

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. 

Pada Juli 2016, Pembina Yayasan Sultan Hamid II, Max Jusuf Alkadrie dan istri mengajukan berkas Sultan Hamid II untuk dicalonkan sebagai pahlawan nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar