26 Juli 2020

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

AKU 

Kalau sampai waktuku 
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau 
Tak perlu sedu sedan itu 
Aku ini binatang jalang 
Dari kumpulannya terbuang 
Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang 
Luka dan bisa kubawa berlari 
Berlari 
Hingga hilang pedih peri 
Dan aku akan lebih tidak peduli 
Aku mau hidup seribu tahun lagi 


KARAWANG BEKASI 

Kami yang kini terbaring antara Karawang Bekasi
Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda 
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai 
Belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai 
belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan 
Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu 
Kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang Bekasi 


NISAN 

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta 


YANG TERAMPAS DAN YANG TERPUTUS 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku 
Menggigir juga ruang dimana dia yang kuingin 
Malam tambah merasuk 
Rimba jadi semati tugu 
Di karet di karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin 
Aku berbenah dalam kamar 
Dalam diriku jika kau datang 
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu 
Tapi kini tangan yang bergerak lantang 
Tubuhku diam dan sendiri 
Cerita dan peristiwa berlalu beku 


DERAI DERAI CEMARA 

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam 
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini 
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah 
Dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan 
Sebelum pada akhirnya kita menyerah 


KESABARAN 

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing gonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Disebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba 


DIPONEGORO 

Dimasa pembangunan ini 

Tuan hidup kembali 

Dan bara kagum menjadi api 

Didepan sekali tuan menanti 

Tak gentar 

Lawan banyaknya seratus kali 

Pedang di kanan, keris di kiri 

Berselempang semangat yang tak bisa mati 

MAJU 

Ini barisan tak bergenderang, berpalu Kepercayaan tanda menyerbu 

Sekali berarti 

Sudah itu mati 

MAJU

Bagimu Negeri 

Menyediakan api 

Punah di atas menghamba 

Binasa di atas ditindas  

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai 

Jika hidup harus merasai 

Maju 

Serbu 

Serang 

Terjang 


SIA-SIA 


Penghabisan kali itu kau datang 

Membawa kembang berkarang 

Mawar merah dan melati putih 

Darah dan suci 

Kau tebarkan depanku 

Serta pandang yang memastikan: untukmu.  Lalu kita sama termangu 

Saling bertanya: apakah ini? 

Cinta? Kita berdua tak mengerti 

Sehari kita bersama. tak hampir-menghampiri 

Ah hatiku yang tak mau memberi 

Mampus kau dikoyak-koyak sepi 


PEMBERIAN TAHU 

Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing.

Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali.

Kita berpeluk cium tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama 


CINTAKU JAUH DI PULAU 


Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri 


CATETAN TH 1946 

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai 'kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.

Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu ;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat

Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang; tenggorokan kering sedikit mau basah! 


KEPADA KAWAN 

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah berkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!! 


KENANGAN 

Kadang

Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia 


BETINANYA AFANDI 

Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.

Matamu menentang — sebentar dulu! —
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu...
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
 Perempuan dan Laki 


SITUASI

Tidak perempuan! yang hidup dalam diri
masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lagi di kapal dulu bertemu,
berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahasia laut Ambon
Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur
bisa dituliskan
dengan pelarian kebuntuan senyuman

- Cirebon ’46 - 


Kepada Peminta-Minta


Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku

Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku. 


PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !




Tidak ada komentar:

Posting Komentar