Sebagai seorang ulama, Mu’allim Yunus sangat dikenal kealimannya. Lantaran keahliannya, tidaklah aneh bila pada waktu itu hampir seluruh acara keagamaan dan kemasyarakatan di wilayah Bukit Duri diselesaikan lewat keputusannya. Karena kealimannya itulah beliau dipercaya untuk memangku jabatan ketua pengadilan agama Jakarta Selatan, bahkan kemudian untuk lingkup Jakarta.
Pada masa itu, posisi strategis ketua pengadilan agama tidak diduduki oleh pejabat karier seperti saat ini, tapi dipercaya kepada seorang ulama yang memang diakui kedalaman ilmunya.
Sebelum Mu’allim Yunus, yang menjabat posisi itu adalah K.H Abdul Hamid. Saat ia bertemu Mu’allim Yunus yang kemudian ia dengar akan masuk dijajaran pengurus pengadilan agama pada waktu itu, spontan ia mengatakan mulai minggu besok Mu’allim Yunus yang akan memimpin pengadilan agama ini.
Di mata para ulama, beliau juga memiliki kedudukan yang istimewa. Guru Mansur Jembatan Lima, pernah mewasiatkan bila ia telah wafat, hendaknya orang-orang yang biasa mengaji padanya, melanjutkan pelajaran kepada Mu’allim Yunus. Murid-muridnya tersebar di banyak tempat. Di Bukit Duri sendiri, beliau sempat mendirikan kumpulan dengan nama Jam’iyyah Syubbanul Muslimin.
Beliau juga sempat menulis beberapa kitab diantaranya yang masih tersimpan hingga kini adalah sebuah kitab dalam bahasa arab pada masalah ilmu arudh (bagian dari ilmu syair) Al-awzan Al-Asjadiyah.
Di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah K.H Abdullah Syafi’i. Bahkan K.H Abdullah Syafi’i pernah mengatakan bahwa Mu’allim Yunus adalah gurunya yang pertama kali yang telah banyak membentuk dirinya sebelum ia mengenal dan berguru kepada guru lainnya.
Selain alim, sebagaimana para ulama jaman dahulu, beliau juga memiliki keistimewaan dalam hal spiritual.
H. Yunus, murid terdekatnya pernah bertanya bagaimana gambaran tentang Lailatul Qodar. Saat ditanya hal itu, Mu’allim Yunus sempat seperti tak dapat berkata lantaran sulit menggambarkan keagungan malam itu. Selang beberapa saat, beliau menjawab dan bercerita, pada suatu malam di bulan Romadhon, sepulangnya beliau dari masjid di tengah malam, sesampainya beliau di rumah, beliau kaget menyaksikan keagungan malam itu, ternyata rumahnya menjadi terang benderang dan beliau segera mengambil air wudhu menuju sumur dekat rumahnya, kemudian beliau kembali dikagetkan karena sumur yang biasanya ditimba untuk mengambil airnya, di malam itu menjadi luber dan melimpah ruah, hingga untuk mengambilnya beliau cukup mencidukan gayung dengan tangannya. Rupanya malam itu beliau memperoleh anugerah Lailatul Qodar.
Senin sore di bulan Dzulqo’dah 1415 H/Mei 1995, menjelang wafatnya, Mu’allim Yunus yang sedang sakit keras mengatakan kepada keluarganya bahwa beliau ingin bertemu dengan Habib Abdurahman Assegaf atau yang biasa disapa Al-Walid.
Sebelum keluarganya menyampaikan pesan itu, rupanya hubungan batin diantara keduanya telah membawa langkah kaki Al-Walid untuk segera menemuinya, seakan Al-Walid telah mendengar pesan Mu’allim Yunus. Sesampainya di kamar Mu’allim Yunus, keduanya berbicang-bincang empat mata. Kemudian tak lama Al-Walid keluar dari kamar dan mengatakan kepada keluarganya agar segera mempersiapkan segala sesuatunya, karena waktunya sudah tidak lama lagi. Jum’at dini harinya, sekitar pukul tiga malam, beliau mengatakan kepada H. Yunus agar menyampaikan pesan kepada muridnya K.H Abdullah Syafi’i, supaya bersedia menjadi imam sholat jenazah bagi dirinya.
Untuk menyampaikan amanah itu, H.Yunus agak ragu karena sudah ramai berita yang mengatakan K.H Abdullah Syafi’i akan segera pergi menunaikan ibadah haji.
Maka tanpa menunda-nunda, H.Yunus segera mendatangi rumah K.H Abdullah Syafi’i dan menyampaikan pesan Mu’allim Yunus. K.H Adbullah Syafi’i menerima pesan itu sebagai isyarat bahwa wafatnya Mu’allim Yunus memang sudah sangat dekat, oleh karenanya ia pun tak ragu menunda keberangkatannya. Dengan tegas K.H Abdullah Syafi’i menjawab “ya, insya Allah bisa”
Kabar tentang akan wafatnya Mu’allim Yunus sudah menyebar kemana-mana, sehingga jum’at pagi itu rumah beliau dipenuhi orang banyak. Hampir semua ulama besar di Jakarta berkumpul di rumah Mu’allim Yunus, mendampinginya dengan mengaji dan membacakan surah yasin, Al-Walid tidak tampak di tengah-tengah mereka dan Mu’allim Yunus pun sudah tidak dapat berkata apa-apa. Ketika waktunya hampir dekat Al-Walid tiba-tiba datang dan memberikan aba-aba untuk seluruh yang hadir agar bersama-sama membacakan tahlil dengan dipimpin oleh Al-Walid sendiri. Anehnya, Mu’allim Yunus yang sedari tadi tidak dapat berkata apa-apa, seketika ikut bertahlil bersama dengan suara yang cukup jelas terdengar. Tidak lama setelah kalimat tahlil dibaca berulang-ulang secara bersama-sama sekitar lima menit, Mu’allim Yunus pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Selasa sore 30 Dzulqo’dah 1415 H/30 Mei 1995, pukul 16.00 WIB, Mu’allim penyejuk hati umat ini kembali keharibaan Ilahi. Jenazahnya dimakamkan disamping mihrab masjid Al-Makmur, Jalan K.H. Abdullah Syafi’i, Tebet, Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar