31 Mei 2020

Syair Abdul Muluk

Abdul Muluk adalah putra dari Abdul Hamid Syah, Sultan Barbari. Dibesarkan di keluarga bangsawan. Saat masih muda ia menikahi Siti Rahmat. Selepas kematian ayahnya, Abdul Muluk naik tahta. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Barbari untuk keliling dunia dan menyerahkan kendali kesultanan kepada pamannya, Mansur. Akhirnya Abdul Muluk tiba di Ban lalu jatuh cinta dengan putri Sultan Ban, Siti Rafiah. Keduanya pun menikah.

Enam bulan kemudian Abdul Muluk meninggalkan Ban bersama istrinya. Setibanya di Barbari, mereka disambut hangat. Siti Rahmat dan Siti Rafiah saling berkenalan dan menjalani hidup layaknya kakak adik. Abdul Muluk menghabiskan hari-harinya bersama kedua istrinya. Siti Rafiah pun segera hamil. Sayangnya kebahagiaan mereka tidak bertahan lama. Sultan Hindustan menyerang tanpa membuat pernyataan perang untuk membalas kematian pamannya. Para penjaga dan penasihat istana dibantai, sedangkan Siti Rahmat dan Abdul Muluk ditawan. Siti Rafiah berhasil kabur. Enam bulan kemudian Siti Rafiah bertemu seorang syeikh yang memberinya tempat berlindung.

Selepas melahirkan, Siti Rafiah memutuskan untuk membalas penahanan suaminya. Ia membiarkan putranya, Abdul Ghani, dibesarkan syeikh tersebut dan menyamar sebagai pria bernama Dura. Setelah tiba di kesultanan Barbaham, ia melihat kesultanan tersebut sedang tidak stabil. Sultan yang sah, Jamaluddin, ditunggangi oleh pamannya, Bahsan. Menyamar sebagai Dura, Siti Rafiah pun membantu Jamaluddin menegakkan kekuasaannya. Atas bantuan pasukan Barbaham, Siti Rafiah menyerang Hindustan. Sultan Hindustan ditangkap dan Abdul Muluk bersama Siti Rahmat dibebaskan. Siti Rafiah kemudian mengungkap jati dirinya dan bertemu suaminya lagi.

Abdul Ghani yang sudah berusia tujuh tahun pergi dari rumah syeikh untuk mencari orang tuanya. Saat ia dituduh mencuri dari sebuah penginapan, seorang pejalan kaki menyelamatkannya. Abdul Ghani kemudian tinggal bersamanya. Karena sempat melukai seorang budak, Abdul Ghani dibawa ke hadapan Sultan Ban yang menyadari bahwa anak tersebut adalah cucunya. Syeikh tadi pun dijadikan pemimpin keagamaan Ban. Setelah sultan mangkat, Abdul Ghani menjadi penggantinya. 



28 Mei 2020

GURINDAM 12

PADASAN

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Padasan adalah tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudhu) 
Dewasa ini di kota-kota besar memang sukar ditemukan padasan yang berfungsi dengan baik. Bisa jadi karena segala keribetan penggunaan padasan telah disederhanakan oleh keran air yang tinggal diputar langsung mengucur air. Kalaupun ada, biasanya sifatnya cuma sebagai hiasan, jadi tidak bisa digunakan. 
Sementara di pedesaan saat ini juga makin sulit menemukan rumah yang menyediakan Padasan di depan rumah. 
Mungkin daripada menimba untuk memenuhi Padasan, lebih praktis menyalakan pompa air listrik guna mengisi bak penampungan air, lalu tamu yang memerlukan air untuk wudhu atau membasuh muka/kaki dapat langsung menuju sumur/kamar mandi yang disediakan tuan rumah. 
Memang dari sisi kepraktisan, pompa air listrik dan jaringan PDAM bisa menggantikan fungsi Padasan, tetapi ada fungsi lain yang rasanya tak dapat digantikan oleh kemajuan pipa, pompa dan jaringan distribusi air tadi.

Dulu di desa, seluruh warga desa menyediakan padasan di depan rumah mereka, dekat dengan jalan. Kadang ada pula pemilik rumah yang menyediakan gayung dari batok kelapa (siwur) sebagai pelengkapnya. Biasanya dalam sehari para penduduk desa memeriksa dan jika dirasa perlu mengisi ulang Padasan tersebut jika airnya sudah hampir habis sebanyak 2–3 kali, yaitu saat sebelum Subuh/sekalian mengambil air wudhu dan pada sore hari selepas Ashar menjelang Maghrib. 
Tapi diantara waktu-waktu tersebut, ada pula yang memeriksa Padasan mereka saat menjelah Dzuhur, sehingga sirkulasi air di Padasan tersebut berjalan baik dan selalu terjaga kebersihannya. 
Semua pejalan kaki dapat sewaktu-waktu menggunakan air dari Padasan ini. 
Jika musim hujan, saat lumpur melekat erat di alas kaki dan mengotori betis, mereka dapat membersihkan kaki dan alas kaki mereka di Padasan yang mereka temui. Umumnya sebelum memasuki rumah orang yang memiliki Padasan tersebut agar lumpur tidak terbawa masuk ke dalam rumah. 
Jika musim kemarau, para pejalan kaki bisa mampir sejenak mencuci wajah dan kaki untuk sedikit mengusir panas. Bahkan saat air masih benar-benar bersih, mereka dapat langsung meminum air dari Padasan tersebut untuk melepaskan dahaga di hari yang panas tersebut. 
Nah di sini fungsi-fungsi sosial yang mungkin tak tergantikan oleh kemajuan teknologi. Tentang bagaimana si pemilik rutin memeriksa Padasan mereka untuk memastikan siapapun yang akan menggunakan air dari Padasan tersebut mendapatkan air dalam jumlah memadai dan bersih tanpa peduli apakah si pemilik Padasan kenal atau tidak orang tersebut, si pemilik ikhlas melakukannya. 
Di sisi lain, orang yang menggunakan Padasan ini tanpa disuruh dan diawasi, cukup tahu diri untuk menggunakan air dari Padasan tersebut seperlunya dan secukupnya karena mereka sadar bukan hanya mereka yang menggunakan air Padasan ini. Jadi tidak pernah ada cerita orang lewat datang bawa jerigen besar mengosongkan isi Padasan tersebut. Walaupun tak ada aturan tegas yang melarangnya, tapi tiap orang sadar bahwa hal tersebut tak elok dilakukan. 
Dan itu semua tak bisa diajarkan oleh keran-keran dan pipa-pipa air modern yang terpasang di rumah-rumah jaman sekarang karena padasan pada dasarnya memang bukan sekedar tempat air belaka 

06 Mei 2020

Mu'allim Yunus

Mu’allim Yunus adalah ulama di tanah Betawi Bukit Duri. Beliau lahir di Jakarta pada 31 November 1914 dengan nama Muhammad Yunus, anak pasangan Muhammad Sholeh dan Napsiah. 
Ibunya adalah seorang guru agama bagi hampir seluruh warga betawi di bukit duri dan sekitarnya pada saat itu, dengan sapaan akrab guru Nap. 
Sang ibu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani. 
Dari wanita inilah kemudian lahir banyak Ulama dan Habaib berdarah betawi di Bukit Duri. 
Secara historis, peran Mu’allim Yunus sangatlah sentral dalam membentuk masyarakat Bukit Duri sebagai salah satu wilayah dari sedikit wilayah di Jakarta ini yang memiliki asatidz dan keterkaitan keluarga dengan Guru Nap. 
Salah satunya adalah keluarga Sayyidil Walid alHabib Abdurahman Bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf. 
Karena Habib Abdurahman menikah dengan H.Barkah yang tak lain adalah cucu dari Guru Nap, sehingga seluruh putra Habib Abdurahman pun tak lain keluarga besar Guru nap, ibunda dari Mu’allim Yunus. 
Setelah dididik dalam lingkungan keluarga yang penuh nuansa keilmuan, beliau melanjutkan pelajarannya kepada Guru Marzuki Muara. 

Suatu ketika sepeda yang beliau gunakan di pengadilan agama hilang di curi orang. Sedikitpun tak keluar dari lisannya kata-kata keluhan, apalagi celaan untuk orang yang mengambil sepedanya. Ditengah perjalanan pulang, seseorang yang sering melihat beliau menaiki sepeda bertanya. Dengan ringan beliau menjawab ”ada yang pinjam” 

Pada saat yang lain, sudah dua bulan beras jatah bulanan dari kantornya tidak ia ambil. Setelah lewat dua bulan, salah seorang karyawan lainya mengatakan ”Mu’allim, berasnya kok gak diambil-ambil, saya bawa kerumahya?" 
Mu’allim menerima jasa baik yang ditawarkan. 
Rupanya entah salah paham atau memang maksudnya tidak baik, beras tersebut ternyata di bawa kerumah si karyawan itu. Setelah beberapa hari, istri Mu’allim mulai gusar dan emosinya meninggi, bahkan sampai marah-marah ”belajar bisa marah ma orang, jatah beras dua bulan di ambil diem aje” 
Mu’allim tetap tenang dan tidak melayani kemarahan sang istri, bahkan beliau menjawab ”berarti itu bukan rizki kita, insyaAllah nanti ada gantinya” 
Tak berapa lama murid terdekatnya datang. Mendengar ada sedikit kegaduhan di rumah itu, si murid memberanikan diri untuk bertanya gerangan apa yang terjadi. 
Istri Mu’allim menjawab ”Ni…guru lu, beras jatah dua bulan di ambil, didiemin aje” Spontan sang murid berinisiatif menjawab ”O..beras yang itu ada di rumah saya, nanti saya ambilin” 
Bergegas si murid berangkat ke pasar dan membeli dua karung beras dan langsung diantarnya ke rumah Mu’allim. 
Di keluarganya, Mu’allim juga mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Salah seorang putranya, Ustadz Muhammad yang meneruskan jejak dakwahnya mengatakan ”orang tua saya tidak pernah ada marahnya sama sekali kepada anak-anaknya, bertolak belakang dengan ibu yang amat tegas" 
Di samping sabar, beliau juga sosok orang tua yang sangat perhatian dengan keluarga besarnya. 
Sering kali beliau membeli makan dalam jumlah yang agak banyak untuk kemudian dibagikan kepada kerabatnya yang tinggal di Bukit Duri. Meski sudah menjadi sosok yang sangat dihormati ketika itu, namun beliau tidak segan-segan untuk menghampiri rumah kerabatnya satu persatu. Begitu pula bila menjelang lebaran, hampir semua kerabat mendapat hadiah berupa sarung, baju atau bingkisan lainya. 
Padahal beliau sendiri bukan orang yang berlebih, melainkan orang yang hidup dengan penuh kesederhanaan. 
Saat tekanan penjajah Belanda sedang keras-kerasnya di wilayah Bukit Duri, seluruh ulama yang berdiam disana sempat angkat kaki dari wilayah itu dan pindah ke kampung lain. 
Tapi tak demikian halnya dengan Mu’allim Yunus, beliau tetap bersabar menetap, meskipun sempat ada suara-suara miring karena pilihan yang tetap untuk tidak pindah. Rupanya hal itu dikarenakan perhatian beliau yang sangat mendalam terhadap masyarakat yang masih tetap tinggal di sana. 
”kalau saya ikut pindah juga, lalu kalau disini ada yang berzina karena tidak ada yang menikahkan atau tidak ada yang mengajarkan akhlaq kepada mereka, bagaimana?" 

Sebagai seorang ulama, Mu’allim Yunus sangat dikenal kealimannya. Lantaran keahliannya, tidaklah aneh bila pada waktu itu hampir seluruh acara keagamaan dan kemasyarakatan di wilayah Bukit Duri diselesaikan lewat keputusannya. Karena kealimannya itulah beliau dipercaya untuk memangku jabatan ketua pengadilan agama Jakarta Selatan, bahkan kemudian untuk lingkup Jakarta. 

Pada masa itu, posisi strategis ketua pengadilan agama tidak diduduki oleh pejabat karier seperti saat ini, tapi dipercaya kepada seorang ulama yang memang diakui kedalaman ilmunya. 

Sebelum Mu’allim Yunus, yang menjabat posisi itu adalah K.H Abdul Hamid. Saat ia bertemu Mu’allim Yunus yang kemudian ia dengar akan masuk dijajaran pengurus pengadilan agama pada waktu itu, spontan ia mengatakan mulai minggu besok Mu’allim Yunus yang akan memimpin pengadilan agama ini. 

Di mata para ulama, beliau juga memiliki kedudukan yang istimewa. Guru Mansur Jembatan Lima, pernah mewasiatkan bila ia telah wafat, hendaknya orang-orang yang biasa mengaji padanya, melanjutkan pelajaran kepada Mu’allim Yunus. Murid-muridnya tersebar di banyak tempat. Di Bukit Duri sendiri, beliau sempat mendirikan kumpulan dengan nama Jam’iyyah Syubbanul Muslimin. 

Beliau juga sempat menulis beberapa kitab diantaranya yang masih tersimpan hingga kini adalah sebuah kitab dalam bahasa arab pada masalah ilmu arudh (bagian dari ilmu syair) Al-awzan Al-Asjadiyah. 

Di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah K.H Abdullah Syafi’i. Bahkan K.H Abdullah Syafi’i pernah mengatakan bahwa Mu’allim Yunus adalah gurunya yang pertama kali yang telah banyak membentuk dirinya sebelum ia mengenal dan berguru kepada guru lainnya. 

Selain alim, sebagaimana para ulama jaman dahulu, beliau juga memiliki keistimewaan dalam hal spiritual. 

H. Yunus, murid terdekatnya pernah bertanya bagaimana gambaran tentang Lailatul Qodar. Saat ditanya hal itu, Mu’allim Yunus sempat seperti tak dapat berkata lantaran sulit menggambarkan keagungan malam itu. Selang beberapa saat, beliau menjawab dan bercerita, pada suatu malam di bulan Romadhon, sepulangnya beliau dari masjid di tengah malam, sesampainya beliau di rumah, beliau kaget menyaksikan keagungan malam itu, ternyata rumahnya menjadi terang benderang dan beliau segera mengambil air wudhu menuju sumur dekat rumahnya, kemudian beliau kembali dikagetkan karena sumur yang biasanya ditimba untuk mengambil airnya, di malam itu menjadi luber dan melimpah ruah, hingga untuk mengambilnya beliau cukup mencidukan gayung dengan tangannya. Rupanya malam itu beliau memperoleh anugerah Lailatul Qodar. 

Senin sore di bulan Dzulqo’dah 1415 H/Mei 1995, menjelang wafatnya, Mu’allim Yunus yang sedang sakit keras mengatakan kepada keluarganya bahwa beliau ingin bertemu dengan Habib Abdurahman Assegaf atau yang biasa disapa Al-Walid. 

Sebelum keluarganya menyampaikan pesan itu, rupanya hubungan batin diantara keduanya telah membawa langkah kaki Al-Walid untuk segera menemuinya, seakan Al-Walid telah mendengar pesan Mu’allim Yunus. Sesampainya di kamar Mu’allim Yunus, keduanya berbicang-bincang empat mata. Kemudian tak lama Al-Walid keluar dari kamar dan mengatakan kepada keluarganya agar segera mempersiapkan segala sesuatunya, karena waktunya sudah tidak lama lagi. Jum’at dini harinya, sekitar pukul tiga malam, beliau mengatakan kepada H. Yunus agar menyampaikan pesan kepada muridnya K.H Abdullah Syafi’i, supaya bersedia menjadi imam sholat jenazah bagi dirinya. 

Untuk menyampaikan amanah itu, H.Yunus agak ragu karena sudah ramai berita yang mengatakan K.H Abdullah Syafi’i akan segera pergi menunaikan ibadah haji. 

Maka tanpa menunda-nunda, H.Yunus segera mendatangi rumah K.H Abdullah Syafi’i dan menyampaikan pesan Mu’allim Yunus. K.H Adbullah Syafi’i menerima pesan itu sebagai isyarat bahwa wafatnya Mu’allim Yunus memang sudah sangat dekat, oleh karenanya ia pun tak ragu menunda keberangkatannya. Dengan tegas K.H Abdullah Syafi’i menjawab “ya, insya Allah bisa” 

Kabar tentang akan wafatnya Mu’allim Yunus sudah menyebar kemana-mana, sehingga jum’at pagi itu rumah beliau dipenuhi orang banyak. Hampir semua ulama besar di Jakarta berkumpul di rumah Mu’allim Yunus, mendampinginya dengan mengaji dan membacakan surah yasin, Al-Walid tidak tampak di tengah-tengah mereka dan Mu’allim Yunus pun sudah tidak dapat berkata apa-apa. Ketika waktunya hampir dekat Al-Walid tiba-tiba datang dan memberikan aba-aba untuk seluruh yang hadir agar bersama-sama membacakan tahlil dengan dipimpin oleh Al-Walid sendiri. Anehnya, Mu’allim Yunus yang sedari tadi tidak dapat berkata apa-apa, seketika ikut bertahlil bersama dengan suara yang cukup jelas terdengar. Tidak lama setelah kalimat tahlil dibaca berulang-ulang secara bersama-sama sekitar lima menit, Mu’allim Yunus pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Selasa sore 30 Dzulqo’dah 1415 H/30 Mei 1995, pukul 16.00 WIB, Mu’allim penyejuk hati umat ini kembali keharibaan Ilahi. Jenazahnya dimakamkan disamping mihrab masjid Al-Makmur, Jalan K.H. Abdullah Syafi’i, Tebet, Jakarta Selatan.