Bismillahirrohmanirrohim
Al Habib Utsman bin Yahya, lahir di Pekojan pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H atau 1822 M.
Ayahnya adalah Abdullah bin Aqil bin Syech bin Abdurahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya.
Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syekh Abdurahman Al-Misri.
Beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji, tetapi kemudian bermukim disana selama 7 tahun dengan maksud memperdalam ilmunya.
Guru utama beliau adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketika berada di Mekah beliau berguru kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Mekah)
Pada tahun 1848 beliau berangkat ke Hadramaut untuk balajar pada guru-gurunya :
1. Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir
2. Habib Abdullah bin Umar bin Yahya
3. Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri
4. Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar
Dari Hadramaut beliau berangkat ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis (berguru pada Syekh Abdullah Basya), Aljazair (belajar pada Syekh Abdurahman Al-Magribhi), Istanbul, Persia dan Syiria.
Maksud beliau berpergian dari satu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak dan lain-lain. Setelah itu beliau kembali ke Hadramaut.
Pada tahun 1862 M/1279 H kembali ke Batavia dan menetap di Batavia hingga wafat pada tahun 1331 H/1913 M
Habib Utsman diangkat menjadi Mufti menggantikan Mufti sebelumnya, Syekh Abdul Gani yang telah lanjut usianya dan sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab (1899–1914) di kantor Voor Inlandsche Zaken.
Sebagai seorang Ulama, Habib Utsman sangat produktif mengarang buku. Walaupun buku-buku karangannya pendek-pendek, sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai pertanyaan yang sering timbul dalam masyarakat Muslim tentang syariat Islam. Beberapa buku karangannya yaitu : Taudhih Al-Adillati ‘ala Syuruthi Al-Abillah, Al-Qawanin Asy-Syar’iyah li Ahl Al-Majalisi Al-Hukmiyah wal Iftaiyah , Ta’bir Aqwa ‘adillah, Jam Al-Fawaid, Sifat Dua Puluh, Irsyad Al-Anam, Zahr Al-Basyim, ishlah Al-Hal, Al-Tuhfat Al-Wardiah, Silsilah Alawiyah, Al-Thariq Al-Shahihah, Taudhih Al-Adillah, Masalik Al-Akhyar, Sa’adat Al-Anam, Nafais Al-Ihlah, Kitab Al-Faraid, Saguna Sakaya, Muthala’ah, Soal Jawab Agama, Tujuh Faedah, Al-Nashidat Al-Aniqah, Khutbah Nikah, Al-Qu’an Wa Al-Dua, Ringkasan Ilmu Adat Istiadat, Ringkasan seni membaca Al-Qur’an, Membahasa Al-Qur’an dan Kesalahan Dalam Berdo’a, Perhiasan, Ringkasan Unsur-unsur Do’a, Ringkasan Tata Bahasa Arab, Al-Silisilah Al-Nabawiyah, Atlas Arabi, Gambar Mekah dan Madinah, Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah Untuk Shalat, Ilmu kalam, Hukum Perkawinan, Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah, Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu, Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Buku, Adab Al-Insan, Kamus Arab Melayu, Cempaka Mulia, Risalah Dua Ilmu, Bab Al-Minan, Hadits Keluarga, Khawariq Al-Adat, Kitab Al-Manasik dan Ilmu Falak.
Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu, beliau membagi Ulama menjadi 2 macam yaitu Ulama Dunia dan Ulama Akhirat.
Ulama dunia itu tidak Ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh. Sedangkan Ulama akhirat adalah orang yang ikhlas, tawadhu’, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta’ala, hanya mencari Ridho Allah semata.
Anggapan orang bahwa Habib Utsman seorang yang anti tarekat adalah tidak benar, sebab beliau belajar tasawuf dan Ilmu Tarekat di Hadramaut dan Mekah. Kalau Memang Habib Utsman menentang itu, tentulah tarekat yang menyimpang dari Agama.
Kalau dikatakan bahwa beliau berpakaian modern, itu bisa diterima karena banyak pergaulannya. Karena ilmunya yang luas maka diangkatlah beliau menjadi Mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Habib Utsman bin Yahya seorang mufti di dunia Melayu yang paling banyak dipercakapkan orang. Realiti tersebut tidak dapat kita nafikan karena memang banyak sebab orang bercakap mengenainya dan ada orang yang kontroversi. Setiap langkah kebijaksanaan seseorang ulama atau tokoh besar memang demikianlah yang akan berlaku.
Habib Utsman juga membuka percetakan sendiri. Dalam memutuskan sesuatu hukum, Habib Utsman sangat tegas tanpa pandang siapapun. Hampir semua Ulama asli Jakarta yang ada sekarang merupakan pertalian dari Habib Utsman.
Kelicikan seorang Belanda, Snouck Hurgronje, kepada Habib Utsman mengakibatkan melunturkan namanya di kalangan ahli gerakan nasional Indonesia. Kekeliruannya dalam bidang politik seolah-olah ia telah tertipu dengan berbagai bujuk rayu dari sarjana Belanda itu. Tentang ini telah diriwayatkan oleh Sultan Hamid Alqadri dalam bukunya, C. Snouck Hurgronje Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, diterbitkan oleh Sinar Harapan, cetakan pertama 1984.
Habib Utsman termasuk salah seorang yang dicurigai Belanda.
Deliar Noer menulis "Sedang Sayyid Utsman bin Yahya al-Alawi yang disebut sebagai seorang Arab yang berserikat dengan pemerintahan Hindia Belanda dan yang menafsirkan perang jihad semata-mata sebagai peperangan melawan nafsu-nafsu jahat"
Ketika beliau berdoa untuk keselamatan Ratu Belanda pada 1898, beliau dituduh "mengelabui mata orang-orang Eropa dengan perbuatannya itu" (Gerakan Modern Islam di Indonesia, LP3ES, 1997, hlm 2)
Dalam tulisan Chaidar "... terjadilah disana yang agak meruncing diantara Syeikh Nawawi al-Bantani (ketika itu masih kanak-kanak) dengan Sayyid Utsman al-Alawi" (Sejarah Pujangga Islam Syeikh Nawawi Al-Bantani, CV. Sarana Utama, 1978, hlm 60)
"... bahawa ketika peristiwa itu terjadi, Syeikh Nawawi al-Bantani belum dewasa lagi" (hlm 62)
Habib Utsman dengan Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minankabawi, pada beberapa aspek hukum mengenai sholat Jum'at. Ada beberapa kitab karya keduanya yang bercorak "polemik" yang memakan waktu agak lama.
Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Lathif Minangkabau diperkirakan umurnya jauh lebih muda dari Habib Utsman. Salah satu bukti bahwa Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau jauh lebih muda daripada Habib Utsman bahwa dalam tahun 1286 Habib Utsman telah mengarang kitab Jawazu Ta'addudi Juma'atain. Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau waktu itu baru berusia 10 tahun (Beliau lahir pada 1276 Hijrah)
Jabatan Mufti yang beliau emban, sempat memunculkan tudingan tak sedap bagi dirinya. Dunia berubah begitu cepat. Globalisasi dan modernisasi acap membuat manusia tergerus di dalamnya. Mata mudah dibuat silau. Kapitalisasi merambah tiap lini kehidupan, tak terkecuali di kota metropolitan seperti Jakarta. Fitnah mendera tidak hanya kalangan awam tetapi juga cerdik pandai. Tak jarang hal seperti itu banyak mengaburkan pandangan tentang adanya orang-orang berilmu. Dalam pandangan masyarakat awam, Ulama selalu disudutkan dengan cara hidupnya. Ternyata hal seperti itu sudah diprediksi Habib Utsman. Jauh sebelum keadaan itu semakin rumit, sang Mufti Betawi telah menyampaikan kritikan melalui bukunya, Risalah Dua Ilmu.
Semua hasil karya Habib Utsman dicetak sendiri di tempat percetakannya yang dikenal dengan Percetakan Batu. Disebut demikian karena klise atau negatif di percetakan tersebut masih dibuat dengan sangat manual menggunakan batu. Dari hasil usaha percetakannya itu, Beliau menjalani kehidupannya sehari-hari bersama keluarga selain membuka majelis ilmu.
Masyarakat dari berbagai kalangan datang untuk belajar ke Habib Utsman. Mereka datang dari penjuru Jakarta dan sekitarnya. Sejumlah Ulama tercatat pernah pula berguru ke Habib Utsman, antara lain Habib Ali Kwitang. Dari pengangkatan Mufti inilah beliau dituding sebagai mata-mata Belanda. Namun anggapan itu dibantah oleh muridnya, Habib Ali Alhabsyi (Kwitang)
Tudingan kepada Habib Utsman semakin kuat ketika Beliau selalu berpakaian perlente ala para kolonial. Belum lagi kedekatannya dengan sarjana Belanda, Snouck Hurgronje.
Pada 1913 M/1331 H, Habib Utsman meninggal dunia. Belum ada keterangan pasti dimanakah makamnya. Muncul kesimpang siuran menyusul penggusuran makam oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, saat itu untuk keperluan perluasan jalan. Sempat terjadi penolakan dari masyarakat, tetapi berkat diplomasi cerdas Ali Sadikin, keluarga dan kerabat secara sukarela memindahkan makam Beliau. Jasadnya diangkat ketika malam hari. Namun keanehan terjadi ketika pihak keluarga selesai membongkar makam. Keluarga tidak menemukan jasad Habib Utsman. Bukan jasad fisik yang ditemukan, melainkan aroma wangi, bahkan dinding ari-arinya pun masih utuh. Lalu pihak keluarga pun memutuskan tanah yang ada di sekitar dinding ari-ari itu dikeruk dan itulah yang dipindahkan ke Pondok Bambu