Garuda Nglayang ini mengandalkan kekuatan pasukan yang besar seperti burung garuda melayang dan meniru gerakan burung garuda, dimana panglima dan pemimpin pasukan berada di paruh, kepala, sayap dan ekor memberikan perintah kepada anak buahnya dengan siasat seperti tingkah burung garuda yang menyambar atau mematuk.
Serangan ini mengandalkan satu senopati utama pada posisi paruh, kemudian sayap kiri kanan bergerak bebas dengan pengatur posisi yang sedikit heroik, sebab perlindungan posisi pengatur pasukan berada di depan, pasukan inti menempati posisi cakar kaki, kemudian pemimpin utama berada di ekor sebagai posisi pasukan penyapu terakhir.
Taktik ini menempatkan senopati di depan sendiri sebagai paruhnya, kemudian 2 orang berjajar/seorang senopati di belakang paruh sebagai kepala burung, kemudian Senopati Agung di belakang kepala burung.
Taktik ini menempatkan senopati di depan sendiri sebagai paruhnya, kemudian 2 orang berjajar/seorang senopati di belakang paruh sebagai kepala burung, kemudian Senopati Agung di belakang kepala burung.
Dua orang senopai berada di ujung sayap kanan dan kiri yang cukup jauh.
Para prajurit mengisi sayap dan menyambung dengan tubuh burung, kepala dan ekor, dimana di ekor burung terdapat seorang senopati lagi.
Dua sayap pada taktik ini dimaksudkan agar dapat mengepung prajurit musuh utk dikalahkan/ditumpas.
Taktik perang ini pernah juga digunakan oleh pihak Pandawa pada perang Baratayudha. Arjuna sebagai patuk, Drupada berada di kepala, Kresna sekereta dengan Arjuna, Drustajumna di sayap kanan dan Bima memimpin di sayap kiri, Setyaki sebagai ekor dan para Raja berada di tengkuk dipimpin oleh Yudhistira.
Konon taktik Garuda Nglayang pernah digunakan oleh Sultan Agung saat menyerang Batavia 1628–1629, juga oleh Panglima Besar Jendral Soedirman dalam perang Ambarawa.
Taktik ini juga pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar